Membaca

16:02:00

*setelah nonton My Name is Khan, terinspirasi dari cara ia mempelajari apa itu bercinta.

What do u like to do in ur leisure time fellas? MMmm, like is not a right phrase. Usual. Used to do. Untuk saia, hal tersebut adalah membaca.

Membaca adalah salah satu “budaya yang paling kuno” yang saia jalani. Saia sudah bisa membaca sejak umur 3,5 tahun. Sejak saat itu, saia mulai membaca apa pun. Papan pengumuman, merk kulkas, name-tag satpam, bungkus jajan, stiker mobil, apa saja. Satu rahasia fellas, kata-kata pertama yang dapat saia baca pertama kali tanpa mengeja adalah 2 kata dalam iklan baris di Koran. SEDOT WC. =D

My momma said that I’m a very good content absorber and ready to splash it anytime. Ketika berada di luar rumah, saia pasti mendongak ke arah langit, mulai menunjuk-nunjuk awan dan melontarkan beberapa terma ilmiah. Ketika mom, kakak atau pengasuh saia menggelengkan kepala tanda tidak paham, saia pun memasang tampang “Where have u been? Don’t u know it?” Kemudian dengan enteng saia berkata, “Haduh, itu loh, kumulonimbus, awan pembawa hujan”. Atau awan sisik ikan, atau awan sapu lidi (yang sekarang saia lupa apa nama ilmiahnya).

Bobo & Mentari adalah majalah anak-anak saat itu. Saia tentu akrab sekali dengan Bona & Rong-Rong, Oki & Nirmala serta cerpen-cerpen karangan Widya Suwarna. Bobo hanya terbit seminggu sekali, tiap hari Kamis. Kamis datang, Minggu habis. Itu pun sudah 3x baca. Saia pun mulai rewel jika bacaan habis. Koran memang ada setiap hari, tapi Koran itu besaaaaarrrr sekali. Sering saia kegulung Koran itu sendiri ketika membacanya. Kedua kakak yang sudah lumayan gede capek juga mendengar saia rewel tiap hari saat bacaan saia habis. Dengan solutifnya mereka memberi saia novel Lima Sekawan. Awalnya saia tidak begitu suka, karena proporsi gambar dan tulisan 1:9. Tapi karena memang tidak ada lagi yang dibaca, saia pun menyerah dan melahap Lima Sekawan pelan-pelan. Kakak saia biasa mengecek saia di saat senggangnya.

MM (Mbak Maya): “Nyampe mana Von bacanya?”
Saia (Von): “Nyampe George (dengan pelafalan ge-or-ge) bawa Timmy ke Pulau Kirrin sembunyi-sembunyi”
MM  : “Itu bacanya bukan ge-or-ge, tapi jos”
Von : “Loh, tulisannya lo ge-e ge, o-er or, ge-e ge. Ge-or-ge. Aku bisa baca loh.”
MM  : “Itu nama Inggris Von. Bacanya juga kayak orang Inggris.”
Von : “Inggris itu apa?”
Bla bla bla. Pembicaraan pun semakin meluas.

Saia bersyukur berulangkali terlahir di keluarga yang sangat menyenangi kegiatan membaca ini. Di kos, saia tidak memiliki televisi. Dan itu bukan masalah, karena di rumah pun, tv hanya berfungsi sebagai pengantar tidur, pengantar makan dan saat-saat yang terlalu luang. Di kos, saia memilih untuk membaca buku (atau apa saja) atau menonton film. Untuk berita, bagaimana? I’ve got Twitter in my hand, I’ve got what I need.

Membaca rasanya bukan (dan entah kapan menjadi) budaya di Indonesia. Kalau pun ada yang membaca, tidak benar-benar membaca. Terbukti dari pengalaman jualan kaos, kami telah mencantumkan dengan jelas segala apa yang dibutuhkan untuk order kaos ataupun gantungan kunci di web gathotkacastudio.com. Tetap saja, berpuluh-puluh sms datang dengan pertanyaan klise: harganya berapa? Gimana cara belinya? Saya di kota xxx, bisa dikirim ga? Boleh beli satu? Mbak, format smsnya apa, males nih buka web. Kalau Cuma 1 atau 2 sms, mungkin tidak apa-apa. Lah ini puluhan. Addo do’e, puh-leaseeee.

Membaca (yang benar) itu penting. Tuhan pun sampe ngulang perintah ini sampe beberapa kali buat Nabi tercinta. Untuk membaca ayat-ayat Tuhan aja ada hukumnya, tajwid. Sedih rasanya ketika melihat orang-orang menganggap “membaca” sebagai sesuatu yang kuno, old-school, gak keren, etc. Lebih sedih lagi ketika melihat hal-hal yang tidak tepat, salah kaprah terjadi karena miss hal yang penting dalam membaca. Bingung?
Sama.
Bagaimana kalau begini, jawab pertanyaan ini untuk saia:
Saia selalu heran, mengapa orang-orang dengan rutin mengadakan acara untuk tergesa-gesa menyelesaikan (mengkhatamkan) Qur’an dalam satu hari? Lalu apa gunanya saia belajar tajwid selama ini?
--a“

lesson

Januari: Tetap Tegak Berdiri

01:51:00

You have brains in your head.
You have feet in your shoes.
You can steer yourself any direction you choose.
You're on your own, and you know what you know.
And you are the one who'll decide where you'll go.
Oh the places you'll go.

-Dr Seuss

Bulan Januari ini barusan kelar, tapi the rollercoaster I've had sudah menunjukkan alur cerita luar biasa dalam waktu sesingkat satu kali rotasi bulan. Di awal bulan yang juga pergantian tahun, saia pergi ke Malang, ke tempat kakak. Otak saia panas karena mengerjakan skripsi. Sebagai imbalannya, saia bersenang-senang deh di Malang. Thanks to mbak At yang sudah menanggung saia disana (in literally, ehehehe).

Life goes on, saia pun UAS, ujian magang & ujian skripsi di tanggal 12. Harusnya, jika sesuai rencana, saia pun lulus di semester ini dan dapat yudisium di maret-april. Tak disangka, tim penilai memilih untuk saia ujian tunda. Dengan kompaknya, ketiga penilai skripsi saia menginginkan saia lebih mendalami apa yang saia teliti. Pfiuuuuuh. Jika hanya satu, mungkin saia akan mendebat argumen tersebut. Tapi dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan yang ditunjukkan oleh ketiganya, I'm sure: the mistakes are mine.

As a perfectionist one, mengetahui kesalahan dalam diri adalah siksaan. Saia bergerak, berlari-lari mencari apa saja yang kurang, dan semakin lama saia semakin yakin bahwa waktu yang saia miliki tidak mencukupi. My time is running out, and it's barely impossible to move. Parents & family seemed too disappointed. All of it mix in my mind. Sholat dan berdo'a ga karu-karuan tapi pertanda yg aku tangkap semuanya menunjukkan untuk mengambil perpanjangan waktu (kayak maen bola aja. hm).

Ketika nalar, intuisi, kritik, masukan sudah dipertimbangkan dengan baik-baik tapi tidak ketemu jawabannya, saia berpaling kepada sahabat karib saia ketika kecil: matematika. Saia akhirnya menghitung berapa peluang nilai saia berbanding dengan IPK. Sejumlah deretan angka pun saia hasilkan. Saia susun sedemikian rupa hingga jadi data statistik yg langsung menunjukkan kepastian. Saia mengulang skripsi.

Sepertinya ini sederhana bagi saia, tapi tolong, semua tidak sesederhana kelihatannya. Jangan tanya berapa helai rambut yang rontok (karena mikir), berapa kali saia terbangun di malam hari, berapa ratus tetes air mata yang jatuh dan segala hal yang mengiringi keputusan ini.

But, after cry a river, I build the bridge and now I cross over it.

Saia menghadap ketua tim penilai saia dan beliau sangat kooperatif dalam membantu saia menyelesaikan masalah ini. Saia sudah pasrahkan semua kepada Tuhanku tersayang, karena ikhtiar yang tertempuh telah maksimal. Setelah bertemu dengan ketua tim penilai, saia keluar dari kantor Departemen dengan langkah yang ringan. Ringan sekali, hingga pikiran saia di awang-awang. Teringat oleh rencana yang telah dibentangkan sesaat lalu, sekarang terhapus begitu saja. Tak ada lagi Jakarta di 2010, tak ada lagi pekerjaan. Lalu apa yang saia lakukan? Keputusan telah dibuat dan tak ada jalan putar. No way back, no way back.

Saia turun tangga, melewati ruangan Mini Theatre. Ada beberapa orang berkumpul, menawari saia untuk bergabung di acara pemutaran film dokumenter "Pita Buta". Saia berlalu sejenak, tapi kemudian menyadari alas kaki dosen saia yang ada di depan Mini Theatre. Mas Satrya. Ah, saia ingin mengabarkan bahwa saia menuruti nasihatnya untuk mengulang. Maka saia pun masuk dan berbincang. Tak diduga, ia mengingatkan kembali tawaran untuk bekerja part-time di tempat kerjanya. Wink! Oh iya, ia pernah menawari saia sebelumnya. Better salary loh Vin, katanya. Wink Wink! Mendadak dendrit-neuron-sinapsis di otak saia aktif dalam hitungan detik. Part time, jual kaos, skripsi, usaha ini itu bermunculan, berdesakan tak mau antri. Semangat pun tumbuh kembali. Semua memang tak mungkin usai di sini, dan tak mungkin sesederhana ini. Kalian ingat kan, saia telah berjanji: musim ke-16 ini pasti seru, super-heboh. Dan saia selalu (berusaha dengan sangat keras) menepati janji.

Senin kemarin, saia sudah bertemu dengan rekan-rekan kerja, mengatur jadwal kerja & beberapa hal awal. Minggu depan, saia akan mulai bekerja. Hmm, I smell full-excitement inside my mind. I'm so curious and can't help myself to gallop into next week. Ehehe.

Di sela-sela itu saia mulai mengurusi persiapan pemesanan kaos, membantu Mom mengerjakan portofolio untuk sertifikasi-nya, membenahi satu-persatu hal-hal yang terbengkalai karena pengerjaan skripsi kemaren (setrikaan, kacamata, puasa). Dan tentu tak lupa: my love life. Ahahay!

Dua bulan terakhir, yang intens menghubungi saia adalah 2 orang dengan bipolar attitude. Yang satu adalah akhi yang semangat dakwahnya luar biasa, sampai-sampai saia merasa tak mampu mengimbanginya. Akhi ini, saia sengaja menghindar, karena sadar betul akan kapasitas dan kondisi akal-ruh-jasad saia. Saia sering berlainan pandang pada hal-hal yg esensi. Pernah akhi ini menyebut saia sebagai (cenderung ingin menjadi) deviant, orang yg paling berbeda. Saia tertawa. Lha wong bahasannya tentang ayah: saia hanya punya Bopo, yang tidak pendiam, tidak segan mencium putrinya, tidak segan mengatakan hal yang salah, siap memaparkan beribu-ribu alasan & faktor sesuatu terjadi, menyapa & berbincang dengan teman pria yg bertandang. Bopo saia memang seperti itu, tidak seperti ayah mainstream lainnya. Lha masak salah saia untuk bicara jujur. Bohong kan dosa.

Pria yang satu lagi adalah pemilik suara merdu, pelantun nada mayor yang selalu bersemangat ketika bercerita pada saia. Pria ini sangat yakin atas perasaannya terhadap saia, padahal kami tak pernah berjumpa sebelumnya. Pernah sih, tapi dalam posisi ia idola dan saia fansnya. 2 tahun yang lalu, saia hampir menitikkan air mata mendengarkan ia menyanyi "Rindu Lukisan" diiringi petikan gitarnya. Lagu ini kesukaan ibu saia, selalu dinyanyikan di kala senggang. Hadddooooh, suaranya melelehkan kenangan yang tersimpan rapi di bilik-bilik hati. Semenjak itu, saia selalu berusaha datang di tiap acara dimana ia mendendangkan lagu-lagu ceria dan bergoyang, dansa-dansi.

Lalu apa? mengapa tidak dengan yang ini? Saia tidak bisa lagi tergesa, tidak mampu untuk terburu-buru ataupun diburu. Dengan beban kewajiban yang masih harus ditempuh, masih lama jarak waktu hingga saia bisa dimiliki seseorang. Dan jiwa ini terlalu resah jika harus disemati titel: pacar orang. Takutnya, saia yang tidak bisa menahan diri. Bukan, bukan mereka yang salah. Bukan akhi itu atau pria ini.

Alhamdulillah, pria bersuara merdu yang juga pandai meniup saxophone ini telah menjalin janji dengan wanita beruntung itu. Semoga langgeng & langsung ke pelaminan! Amin. Alhamdulillah (lagi) untuk sebutan darinya untuk saia. "Sorang kawan".
=)