Nasihat Pernikahan: Menimbang Waktu Tepat untuk Menikah

05:53:00

“Vin, kok kamu bisa sih memutuskan untuk menikah di umur 22? Bagaimana bisa kamu yakin? Padahal dulu kukira kamu bakal lanjut sekolah atau mengejar karir dulu.”
Dulu ketika saya akan menikah, atau baru saja menikah, saya menjawab pertanyaan ini dengan penjelasan panjang lebar tentang sudah sama-sama siap, merasa sudah tidak ada yang perlu diragukan, lagi dan sebagainya. Tapi sekarang, hampir 8 tahun menikah, ada sudut pandang lain yang baru saya sadari: saya sudah bicara tentang pernikahan sejak menginjak masa remaja saat akil balig.
Barangkali orang tua saya memang tidak umum (di Indonesia). Sejak menstruasi pertama, diskusi itu dibuka oleh ibu saya, “Vinka, kamu sekarang sudah menstruasi, itu berarti kamu sudah bisa hamil & punya anak.”
Berumur 13 tahun, saya sih iya-iya aja tanpa pikir panjang maknanya apa.
Ketika kelas 3 SMP dan merencanakan SMA di mana, saya bersikeras ingin bersekolah di sekolah umum, tidak menyantri seperti kedua kakak saya. Tidak tanggung-tanggung, Jakarta! Mengejar kelas akselerasi Labschool Kebayoran ceritanya. Kami tidak punya uang, singkat dan padat kata Bopo Ibu. Tawar menawar harga pas jatuh di Surabaya. Dan saya ingat betul, sebelum bersekolah di Surabaya, beberapa kali saya “didudukkan” seusai sholat Maghrib.
“Kamu sudah besar. Akan datang saatnya kamu suka dengan seseorang. Kalau tidak kuat (menahan hasrat), lebih baik bilang jujur kemudian kami nikahkan. Tentu saja Bopo Ibu sangat ingin kamu selesai sekolah dulu, kuliah lalu bekerja agar bisa bertanggung jawab atas hidupmu. Tapi Bopo Ibu lebih baik menikahkan kamu, meski sedih, tapi kami tidak apa-apa dibanding menanggung malu (karena kehamilan di luar nikah).”
Barangkali cara orangtua saya bukan yang terbaik atau sesuai dengan anjuran pakar parenting masa kini. Pun bukan yang paling benar, tapi pesannya jelas: sekolah sampai selesai, tapi kalau memang kebacut kebelet, opsi menikah itu ada. Pembicaraan ini juga mempengaruhi pola pikir saya untuk bergegas mampu mandiri, mencari uang sendiri, bertanggung jawab atas diri ini. Menikah? Hanya boleh kalau saya dan calon pasangan mampu menerima seluruh konsekuensi, termasuk perasaan orang tua.
Karena sudah dibicarakan sejak “dini”, orang tua saya pun jadi biasa saja ketika mereka menyelipkan nasihat pernikahan di sela kegiatan sehari-hari yang banal. Misal ketika membangunkan saya, Bopo sering berbaring di sebelah saya dan memulai obrolan agar saya bisa melek.
“Kalau di agama kita disuruh mencari pasangan yang sekufu atau sepadan, itu semuanya mulai dari agama, fisik, harta dan seterusnya. Tapi pengalaman Bopo, yang paling penting itu sekufu kepintarannya. Karena kalau sudah sejalan & sepakat pikirannya, yang lain bisa mengikuti dan pernikahan jadi minim konflik. Ini kalau dari pengamatan Bopo nggih.”
Di kali lain Bopo menekankan betapa pernikahan tidak akan mengubah apa-apa dari seseorang, kecuali atas kehendaknya sendiri. “Kamu bener suka sama Rendy? Suka dengan baik dan buruknya sekarang, nggak usah berharap mengubah ia jadi ini & itu di masa depan Von. Mboten saged nak, kecuali kepingin berubah mergo karepe dewe.”
Merunut kembali nasihat-nasihat tersebut, saya mensyukuri bahwa orang tua saya memilih untuk memulai pembicaraan tersebut, karena dari situ saya merasa bahwa pernikahan bukan hal yang “jauh”, asing atau terlampau sakral. Ia adalah subjek yang biasa, boleh ditanyakan & dibahas kapan saja, serta bisa dipelajari dengan objektif & wajar. Beberapa kawan yang masih membujang, merasa enggan membicarakannya karena banyak stigma yang melekat, atau pertanyaan yang diajukan tidak mendapat jawaban yang jelas & setimpal.
“Eh, kalau udah nikah itu enak ga sih?” “Hmm, gimana ya, ya gitu itu, coba aja dulu lah, enak kok.” Kalau jawaban yang diberikan macam ini, tidak heran rasanya jika angka perceraian makin tinggi.
Mari perlakukan pernikahan sebagaimana adanya. Ia satu fase hidup yang punya banyak waktu bahagia, seimbang dengan saat sedihnya juga. Layaknya hidup, pernikahan pasti punya naik turun. Pernikahan bukan hal yang super sulit, tapi juga tidak bisa dianggap mudah. Tak perlu diromantisir berlebihan, juga tidak disepelekan. Let’s talk marriage as it is.
Maka, apa jawaban saya sekarang jika mendapat pertanyaan di awal tulisan ini? Pernikahan itu tentang pilihan. Saya memilih menikah karena pertimbangan panjang dan matang yang telah saya lakukan. I’ve been through a lot and it’ll take another story to explain you all the factors, risk analyzing on why I choose to marry. Saya memilih dan bersedia menanggung resiko apa yang saya pilih, itu saja. Happy choosing!

You Might Also Like

0 comments