Selama pandemi ini saya jadi "malas" menggunakan skincare. Mengapa "malas"? Karena sebenarnya prioritasnya yang bergeser, perawatan wajah tidak berada di ranking atas. Saking jarangnya, selama 5 bulan berselang, hanya 3 produk di bawah ini yang habis saya pakai: eye serum, facial oil & moisturiser. Berturut-turut saya menggunakan No7 Eye Serum, Balance Me Rose Otto Face Oil dan L'Oreal Revitalift Day Cream. Kalau bisa direview singkat maka nilainya: B+, C, B. No7 Eye Serum ini melebihi ekspektasi saya, apalagi kalau berangkat dari ketidakpercayaan saya terhadap eye serum. Menurut saya, apa bedanya dengan serum wajah biasa? Mengapa harus ada khusus untuk bagian mata? Apa tidak sekadar buang-buang uang? Tapi setelah saya menggunakan dengan rutin, ternyata memang ada hasilnya. Warna gelap serta kerut tipis di bawah mata berkurang cukup signifikan. Tapi hasil baru terlihat setelah pemakaian lebih dari 3 minggu. Jadi jangan harap instan ya..
Untuk Balance Rose Otto Face Oil, mungkin ekspektasi saya yang terlalu tinggi yang membuat saya sedikit kecewa. Kalau dibanding dengan facial oil yg saya gunakan sebelumnya yaitu The Ordinary 100% Cold-pressed Virgin Marula Oil, lumayan menurun ya. Padahal harganya 2x lipat lebih mahal dibanding The Ordinary. Kan jadinya KZL. Untung belinya menang bidding di eBay yang cuma 60% dari harga toko. Kalau harga full mungkin lebih KZL lagi.
Untuk L'Oreal Revitalift Day Cream, saya tidak berharap banyak karena ini merk umum drugstore atau supermarket. Saya beli pun karena bertepatan dapat cashback poin dari belanja harian, jadi lumayan lah hitung-hitung pot gede gini cuma 1 pound = 18 ribu rupiah. Cream ini bekerja sesuai apa yang saya butuhkan, menyegel serum dan berbagai cairan yang saya aplikasikan di wajah sebelum moisturiser. Bukan sebuah penurunan juga dari day cream saya sebelumnya yaitu No7 Protect & Perfect Intense Advanced Day Cream, itulah sebabnya saya beri nilai B.
Sekarang produk pengganti yang saya gunakan adalah The Ordinary Argireline Solution 10% sebagai eye serum, The Ordinary Oil "B" Oil dan Olay Total Effects 7-in-1 Anti-Aging Daily Face Moisturizer. Yup, saya jadi tergoda produk-produknya The Ordinary karena efektif sekaligus ramah di kantong. Selain itu sekarang hati sudah lebih tenang menghadapi pandemi, semoga jadi tidak beralasan malas lagi untuk ber-skincare ria! ✌
Saya baru beberapa hari mengikuti Fellexandro Ruby di Instagram. Ada satu postingan yang membuat otak saya terus-terusan berpikir.
Klik gambar untuk menuju post @fellexandro
Dalam postingan tersebut Ruby mengawali dengan data penelitian oleh Gallup di Amerika yg menanyakan seberapa sih kaya itu dan mendapatkan hasil bahwa 'kaya' adalah memiliki 2x pendapatan saat ini. Semisal sekarang memiliki pendapatan 100ribu, maka kaya adalah 200ribu. Setelah punya 200ribu, menurut mereka kaya adalah 400ribu. Begitu seterusnya.
Menurut saya, bahasan Ruby ini benar & menarik, tapi masih ada kelanjutannya. Sebenarnya, ada ga korelasi antara pendapatan & kebahagiaan/kepuasan hidup? Dua penerima Nobel Ekonomi Danny Kahneman & Angus Deaton melakukan penelitian: What's the correlation between "Life Satisfaction" & Incomes. Yang mereka cari tidak hanya sekadar korelasi, tapi ada nilai ambang batas ga? Apa ada titik (pendapatan) dimana ketika kamu sampai di titik itu, secara umum kamu ga akan kesulitan mencapai kebahagiaan?
Ternyata ada! It's $75000/tahun. Jadi kesimpulannya kalau sudah memiliki pendapatan segitu, tingkat kebahagiaanmu itu tidak akan terpengaruh banyak dengan pertambahan duitmu. Jadi misal di awal ketika pendapatan cuma $10rb/tahun, ketika dapat pendapatan lebih, itu akan berpengaruh sekali ke tingkat kebahagiaanmu. Tapi setelah $75rb/th, pertambahan materi itu nggak begitu pengaruh lagi ke tingkat stress, seberapa kamu sedih, etc. Mengapa $75ribu? Tidak begitu jelas mengapa, tapi di penelitian tersebut mereka tahu kalau angka itu wajar karena kira-kira dg uang segitu kebutuhan apa aja sudah ter-cover di US.
Tentu nilai ini tidak bisa dikonversi mentah-mentah dalam konteks pendapatan di Indonesia. Terlalu banyak faktor & konteks yg harus dipertimbangkan untuk hal ini. Then what? Belajar dari pembahasan ini saya mendefinisikan nilai ambang batas untuk kekayaan saya adalah... mangkok dengan irisan banyak macam buah
Ya, ini adalah definisi kaya bagi saya: bisa belanja buah berbagai macam. Tentu ini potret sensus buah di kulkas dalam kondisi setelah belanja. Jika akhir minggu tentu beda kondisinya. Tapi tunggu, mari saya jelaskan mengapa bagi saya bisa belanja buah = kaya raya
1. Buah: think about health first and it's self-caring. "Eat the rainbow", 5 (portions) a day, adalah beberapa jargon untuk menekankan pentingnya konsumsi beragam buah & sayur. Manfaatnya nyata dan saya percaya ini bentuk self-care yg utama karena langsung berpengaruh kepada kesehatan, bahkan juga konsentrasi & performa.
2. Buah: planned consumption. Masalah besar dalam bujet dan konsumsi dalam keluarga itu kurang perhitungan. Bujet kurang, jadi masalah. Bujet oke, tapi konsumsi ga maksimal, jadi masalah di sisa makanan/waste. Butuh waktu, tapi akhirnya saya bisa mengukur seberapa banyak buah yg dibutuhkan keluarga saya. Jadi, buah itu seperti "lambang" hasil belajar saya dalam merencanakan konsumsi keluarga.
3. Buah: all needs are fulfilled. Dulu, buah itu saya golongkan kebutuhan tersier. Feeling ini masih menancap sampai sekarang. Jadi, setiap saya memandang buah yg akan saya makan, ada perasaan syukur & aman bahwa kebutuhan pokok saya sudah terpenuhi & bisa makan buah.
Itu adalah alasan saya memaknai kaya dari semangkok buah. Apalagi standar ini mudah "diakali", misal beli buah yg sedang musim atau buah lokal agar lebih murah. Meski uang yg dihabiskan lebih sedikit, tapi esensi kaya raya tetap tercapai dan tetap ayem tentrem di hati.
Tabel dari penelitian Kahneman & Deaton
Pembicaraan ini berlanjut ketika saya berdiskusi dengan Iphip, dimana kami sama-sama penasaran bagaimana jika di Indonesia ada yang melakukan penelitian ini, pasti menarik sekali. Menurut saya nilai ambang batas ini penting karena kita bisa bilang dengan bukti nyata bahwa kita ga perlu kok keblinger mengejar harta terus-terusan, merasa "dibalap" saat tetangga punya mobil baru atau merasa bersaing tentang duit. Karena toh bisa jadi malah pusing dan turun kebahagiaannya setelah lewat angka yg lain (di tabel tersebut $160rb ya). Mending kalau sudah sampai ambang batas tersebut, tenaganya dipakai untuk hal-hal yg bikin happy ajaa.. ☺
Kemarin kawan saya Sheila Junniar menulis pertanyaan di Story Instagramnya: apa hal baru tentang diri kalian yang kalian ketahui setelah menjalani karantina/lockdown. Saya menjawab bahwa saya mengetahui batas "asli" dari kapabilitas dan kapasitas emosional saya. Saya menyadari bahwa ternyata saya memiliki punya batas-batas itu tidak bisa diganggu gugat. Ternyata saya sangat sensitif akhir-akhir ini. Ketika melihat video dari Boris Johnson yang baru keluar dari rumah sakit kemarin, saya otomatis menangis. Saya dapat menyimpulkan, oh I'll hit my limit if I triggered myself to too much emotion.
Nah lalu apa hubungannya dengan drama Korea atau secara keseluruhan serial televisi? Saya tahu bahwa jika saya menonton serial televisi saya akan terkuras secara emosi. Saya merasa terhubung dan merasakan apa yang dijalani oleh tokoh-tokoh di serial tersebut. Kemudian saya sadar bahwa menonton drama Korea itu sama sekali tidak membantu di kondisi sekarang yang butuh kepala dingin, butuh suasana emosi yang stabil. Yang kedua, jika saya menonton serial televisi sebagai pelarian atau escapism, saya akan tenggelam dalam rasa bersalah setelahnya. Saya sudah pernah mengalami ini jadi saya merasa tidak ingin mengulanginya lagi. Entah bagi teman-teman, tapi rasa bersalah itu bisa "menghantui" dan malah down-spiralling my mood. Kenyataan di hari ini terasa lebih surreal dibandingkan alur cerita drama televisi. Dan saya harus mengakui bahwa saya tidak "sekuat itu", punya kapasitas untuk menonton dan mengalokasikan lebih banyak ruang dalam mental saya, untuk perasaan fluktuatif yang biasa kita dapat dari serial televisi.
Jadi meskipun ada Clash Landing on You, Itaewon Class, The World of Marriage, Money Heist dan judul-judul lain yang melambai-lambai, saya memilih untuk skip dulu. Ada sedikit rasa sedih, mengingat menonton serial televisi sambil merajut adalah kesukaan saya. Sampai jumpa nanti ya, dear dramas.
Sejak gonjang-ganjing perihal coronavirus mulai merebak & menyebar di tanah Britania Raya, saya serta merta tiarap. Awalnya karena kebetulan Hayu jatuh sakit lalu kemudian menulari saya dan juga Mas Rendi dan akhirnya menjadi siklus yang tak henti berputar di antara kami. Lalu bertubi-tubi dari sekolah Hayu libur, panic buying yang terjadi di supermarket di sini. Saya turut sedih melihat lansia menatap nanar rak-rak kosong tanpa mendapatkan kebutuhan pokoknya. Menyaksikan hal tersebut dengan mata kepala sendiri membuat kepala tak berhenti berpikir & membayangkan hal yang muram.
Kemudian saya memutuskan untuk menarik diri. Merawat diri dulu. Saya percaya kalau hal terbaik yang bisa kita berikan kepada orang lain harus diawali dari menjaga diri kita sendiri. Saya berhenti mengunggah dan mengonsumsi sosial media. Saya tidur jauh lebih lama antara 8 sampai 10 jam. Saya mengurangi hal-hal yang kurang penting kemudian menyesuaikan diri dengan berbagai hal yang baru di sekitar termasuk di pekerjaan juga. Dan saya merasa jauh lebih baik sekarang, meskipun apa yang ada di benak saya belum betul-betul terorganisir.
Masalah coronavirus ini sangat pelik, sulit dan membutuhkan banyak sekali usaha untuk menyelesaikannya. Saya pribadi ketika memandang dan berusaha menilai objektif, tidak pernah terbersit bahwa (ternyata) banyak hal yang bisa saya syukuri saat ini. Semakin hari semakin merasa tawakal sembari terus berusaha. Hal ini linear dengan kesadaran , sebenarnya banyak sekali hal yang bisa saya lakukan dalam menghadapi virus ini. Saya merasa tidak ditinggalkan olehNya dan bantuanNya datang bahkan di saat yang tak terduga. Misalnya ketika saya menahan diri untuk tidak panic buying meskipun di dalam kepala juga berkecamuk: bagaimana nanti kalo persediaan makanan habis? Bagaimana anak saya, mau makan apa? Manusia memiliki naluri untuk bertahan dan mempertahankan diri. Ketika saya memutuskan untuk tidak turut dalam arus panic buying, rezeki itu malah seperti tidak ada habis-habis datang dari berbagai arah dan ini bukan hal yang mudah dipahami nalar semata.
Sekarang alhamdulillah sudah cukup lega, fisik juga sudah lumayan memadai dan saya ingin pelan-pelan menata rencana untuk mungkin 3 sampai 12 bulan ke depan. Apa bisa? Apa yang bisa direncanakan di kurun waktu yang tidak menentu? Saya ingin mengutip kalimat dari Profesor Chris Witty, Chief Medical Officer UK. "And I think we should not be under any illusions that if we just do this for a couple of weeks, that is sufficient. This is going to have to be prolonged period." Saya bersyukur ia berani dan mampu menjelaskan perihal sulit ini dengan gestur yang kalem dan terukur. Di kesempatan lain ia bahkan menyebutkan bahwa dengan adanya coronavirus, pola hidup dan pola sosial kita bisa berubah di masa mendatang. Menerima kenyataan seperti ini tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Dengan perencanaan yang baik & matang, bersandar pada ilmu pengetahuan, mungkin sekali untuk mempersiapkan diri ini untuk melakukan dan mencapai hal yang terbaik. Peringatan ini bukan untuk menakuti, tetapi menyemangati. Yuk, sama-sama dengan lapang dada menerima perubahan dan menyiapkan apa saja yang harus kita lakukan agar tangguh, sigap untuk bangkit dari pandemi ini.
“Vin, kok kamu bisa sih memutuskan untuk menikah di umur 22? Bagaimana bisa kamu yakin? Padahal dulu kukira kamu bakal lanjut sekolah atau mengejar karir dulu.”
Dulu ketika saya akan menikah, atau baru saja menikah, saya menjawab pertanyaan ini dengan penjelasan panjang lebar tentang sudah sama-sama siap, merasa sudah tidak ada yang perlu diragukan, lagi dan sebagainya. Tapi sekarang, hampir 8 tahun menikah, ada sudut pandang lain yang baru saya sadari: saya sudah bicara tentang pernikahan sejak menginjak masa remaja saat akil balig.
Barangkali orang tua saya memang tidak umum (di Indonesia). Sejak menstruasi pertama, diskusi itu dibuka oleh ibu saya, “Vinka, kamu sekarang sudah menstruasi, itu berarti kamu sudah bisa hamil & punya anak.”
Berumur 13 tahun, saya sih iya-iya aja tanpa pikir panjang maknanya apa.
Ketika kelas 3 SMP dan merencanakan SMA di mana, saya bersikeras ingin bersekolah di sekolah umum, tidak menyantri seperti kedua kakak saya. Tidak tanggung-tanggung, Jakarta! Mengejar kelas akselerasi Labschool Kebayoran ceritanya. Kami tidak punya uang, singkat dan padat kata Bopo Ibu. Tawar menawar harga pas jatuh di Surabaya. Dan saya ingat betul, sebelum bersekolah di Surabaya, beberapa kali saya “didudukkan” seusai sholat Maghrib.
“Kamu sudah besar. Akan datang saatnya kamu suka dengan seseorang. Kalau tidak kuat (menahan hasrat), lebih baik bilang jujur kemudian kami nikahkan. Tentu saja Bopo Ibu sangat ingin kamu selesai sekolah dulu, kuliah lalu bekerja agar bisa bertanggung jawab atas hidupmu. Tapi Bopo Ibu lebih baik menikahkan kamu, meski sedih, tapi kami tidak apa-apa dibanding menanggung malu (karena kehamilan di luar nikah).”
Barangkali cara orangtua saya bukan yang terbaik atau sesuai dengan anjuran pakar parenting masa kini. Pun bukan yang paling benar, tapi pesannya jelas: sekolah sampai selesai, tapi kalau memang kebacut kebelet, opsi menikah itu ada. Pembicaraan ini juga mempengaruhi pola pikir saya untuk bergegas mampu mandiri, mencari uang sendiri, bertanggung jawab atas diri ini. Menikah? Hanya boleh kalau saya dan calon pasangan mampu menerima seluruh konsekuensi, termasuk perasaan orang tua.
Karena sudah dibicarakan sejak “dini”, orang tua saya pun jadi biasa saja ketika mereka menyelipkan nasihat pernikahan di sela kegiatan sehari-hari yang banal. Misal ketika membangunkan saya, Bopo sering berbaring di sebelah saya dan memulai obrolan agar saya bisa melek.
“Kalau di agama kita disuruh mencari pasangan yang sekufu atau sepadan, itu semuanya mulai dari agama, fisik, harta dan seterusnya. Tapi pengalaman Bopo, yang paling penting itu sekufu kepintarannya. Karena kalau sudah sejalan & sepakat pikirannya, yang lain bisa mengikuti dan pernikahan jadi minim konflik. Ini kalau dari pengamatan Bopo nggih.”
Di kali lain Bopo menekankan betapa pernikahan tidak akan mengubah apa-apa dari seseorang, kecuali atas kehendaknya sendiri. “Kamu bener suka sama Rendy? Suka dengan baik dan buruknya sekarang, nggak usah berharap mengubah ia jadi ini & itu di masa depan Von. Mboten saged nak, kecuali kepingin berubah mergo karepe dewe.”
Merunut kembali nasihat-nasihat tersebut, saya mensyukuri bahwa orang tua saya memilih untuk memulai pembicaraan tersebut, karena dari situ saya merasa bahwa pernikahan bukan hal yang “jauh”, asing atau terlampau sakral. Ia adalah subjek yang biasa, boleh ditanyakan & dibahas kapan saja, serta bisa dipelajari dengan objektif & wajar. Beberapa kawan yang masih membujang, merasa enggan membicarakannya karena banyak stigma yang melekat, atau pertanyaan yang diajukan tidak mendapat jawaban yang jelas & setimpal.
“Eh, kalau udah nikah itu enak ga sih?” “Hmm, gimana ya, ya gitu itu, coba aja dulu lah, enak kok.” Kalau jawaban yang diberikan macam ini, tidak heran rasanya jika angka perceraian makin tinggi.
Mari perlakukan pernikahan sebagaimana adanya. Ia satu fase hidup yang punya banyak waktu bahagia, seimbang dengan saat sedihnya juga. Layaknya hidup, pernikahan pasti punya naik turun. Pernikahan bukan hal yang super sulit, tapi juga tidak bisa dianggap mudah. Tak perlu diromantisir berlebihan, juga tidak disepelekan. Let’s talk marriage as it is.
Maka, apa jawaban saya sekarang jika mendapat pertanyaan di awal tulisan ini? Pernikahan itu tentang pilihan. Saya memilih menikah karena pertimbangan panjang dan matang yang telah saya lakukan. I’ve been through a lot and it’ll take another story to explain you all the factors, risk analyzing on why I choose to marry. Saya memilih dan bersedia menanggung resiko apa yang saya pilih, itu saja. Happy choosing!
Kadang kalau dipikir-pikir agak mustahil untuk saya bikin podcast. Karena kemampuan editing saya ya gitu-gitu aja, ditambah ketidak-konsistenan saya. Istilah orang Jawa: ndeng-ndeng ser. Tapi saya tidak menarget banyak, yang penting jalan, yang penting bikin, yang penting berkarya biar pengetahuan saya yang sedikit ini bisa bermanfaat. Alhamdulillah sekarang sudah di episode 5+1 episode spesial. Sudah dengar belum? Di episode spesial saya dan mbak Iphip diskusi tentang film Marriage Story dan Kim Ji-young Born 1982. Yang belum dengar boleh langsung cus ke anchor.fm/viptalks ya. Di bawah ini cuplikan favorit saya yang selalu bikin tersenyum kalau dengar.
Dan kabar terakhir yang juga menyenangkan adalah, akhirnya VIP Talks ada di Apple Podcast jugaaa. Kayaknya emang paling terakhir ya bisa di kanal Apple. Monggo yang Sheeple atau Apple fanboys bisa merapat mendengarkan VIP Talks di kala senggangmu. Klik langsung di sini!
Berpindah ke negeri orang, tentu ada rasa takut dan was-was. Bagaimana jika lingkungannya tak ramah? Bagaimana jika saya tidak bisa beradaptasi? Bagaimana dengan Hayu? Alhamdulillah, kami pindah di tempat yg tepat. Kami pindah di mana senyum & sapaan adalah hal yg mudah ditemui, bahkan seperti timpang jika mempertimbangkan betapa individualisnya kehidupan di sini. Saya bisa berargumen bahwa Yorkshire adalah tempat yang "aman & nyaman" bagi para Geminian (dan siapapun) untuk tinggal.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Panggilan yang lazim digunakan untuk menyapa orang lain (asing maupun yg sudah kenal) adalah Love, Darling, Sweetheart, Mate & Lad. Hal ini sangat umum, dipakai oleh siapa pun kepada umur berapa saja. Datanglah ke pasar, tempat-tempat umum yang dikelola oleh native, maka kalian akan mendapat sapaan hangat ini. Malah tidak jarang ditambah dengan kedipan mata. Dan iya, ini mayoritas semua orang ya gini, nggak orang jual di pasar, pak-ibu tukang pos, tukang ledeng, security, siapa saja. Kalau di Indonesia menyapa seperti ini bisa-bisa sudah dicap genit, jablay, dll.
Apa hubungannya dengan Gemini? Yah, karena beberapa kali baca bahasan zodiak misal di akun Alexander Thian @amrazing tentang Gemini yang di-bangsat-brengsek-in karena "baik & ramah sama semua orang". I know (perhaps) it's just for fun to judge people instantly by the zodiac, tapi setelah tinggal di sini selama 6 bulan, perspektif saya berubah. Bisa jadi yang salah bukan orangnya, tempat & standarnya saja yg belum pas. Para kawan dengan zodiak Gemini, menabung yang banyak terus pindah sini deh, you won't be misjudge prematurely. Haha.
Tapi, penasaran aja sih, kalau premisnya "baik sama semua orang" = bangsat; berarti yg ga bangsat = "jahat sama semua orang"? Isn't it even more twisted logic?
I don't need the answer anyway, because I will still be kind to everyone. Cheers, Love!⠀⠀⠀⠀
Dua hari lalu kakak saya,mas Andre @miebutoijo share artikel menarik tentang bagaimana founder dari Tatcha tidak mengambil gajinya selama 9 tahun, menggunakan-memutar dana tersebut untuk mengembangkan Tatcha. Karena ia punya hutang kira-kira 1juta dollar untuk pendidikannya (student loan untuk S1 & S2), ia pernah menjalani 4 side job dalam kurun waktu yg sama untuk melunasi hutang & membiayai bisnisnya.
Iyaaa, Tatcha yg skincare premium ituuuu. Usaha untuk mengatasi masalah dengan resource yg ada ini disebut bootstrapping. Jadi tidak mengandalkan kredit, tidak mengutamakan suntikan investor. Dan saya suuukaaaa sekali prinsip ini. Karena sangat realistis, praktikal & memberi harapan bagi saya yg bukan anak sultan atau orang yg tajir melintir. Persis juga seperti apa kata @garyvee, audit pengeluaranmu, nabung, kerja tambahan untuk mewujudkan mimpimu.
Terus apa hubungannya dengan L'Oreal ini Vin? Di beberapa post yg lalu saya pernah bercerita bahwa saya memiliki riwayat kulit yg tricky, beberapa kali terkena penyakit autoimmune termasuk vitiligo. Perawatan kulit jadi kebutuhan mutlak & harus disisihkan karena, belajar dari pengalaman, kalau tidak dirawat efeknya sering langsung dramatis. Tapi ceritanya bootstrapping, skincare kan Mahal, njur pye? Banyak jalan menuju Roma, kawans. Saya termasuk rajin mengumpulkan poin dari belanja sehari-hari (dulu di Indonesia biasa di Alfamart & Shopback), lumayan bisa subsidi silang untuk skincare. L'Oreal ini harga aslinya £12, sedang diskon 50% jadi £6, dipotong poin senilai £5, jadi cuma bayar £1 atau 18ribu rupiah. Tiap bulan saya menyisihkan £5-10 untuk skincare (90-180ribu rupiah), asal disiplin pasti bisa untuk mencukupi kebutuhan.
Saya berharap semakin banyak orang yg beranggapan nabung itu keren, ngirit demi mimpi itu harus disupport, etc. Feed IG tidak penuh orang pamer barang branded, tapi bercerita & berbagi cara mencapai mimpinya. Semakin banyak yg melakukan pasti bikin semangat & jadi norma baru. Ngirit itu bukan medhit. Bootstrapping is cool, cheapskate is needed. 😉