fave

I Hate Luv Storys!

23:56:00

Spoiler Alerts! 


Saya menulis post ini sambil melihat "Dil To Pagal Hai" di channel MNCtv. Ah, film India. Film India selalu menarik buat saya. Menarik juga rasanya mengetahui fakta: salah satu search keyword yg sering nyantol di blog saya adalah film india, khususnya film India lama. =D

Alih-alih membahas film India lama, saya ingin membahas film India yang relatif baru untuk ukuran Indonesia. Yah, mohon dimaklumi, distributor film India di Indonesia tidak banyak, jadi yaa menunggu film India tersebut box office dimana-mana, baru disebarkan di Indonesia. Film ini berjudul "I Hate Luv Storys!" (2010). Film yang berhasil membuat saya jatuh cinta dengan Sonam Kapoor & Imran Khan. Film ini juga yang membuat saya yakin bahwa India masih akan mempunyai penerus sutradara ahli drama romantis Karan Johar, yaitu pendatang baru Punit Malhotra. 



Film ini tidak menawarkan hal yang baru dari plot standar cerita romantis. Simran (Sonam Kapoor) yang sangat memuja drama Bollywood, membuat ia mendalami sepenuh hati pekerjaannya sebagai Art Director di produksi film sutradara kondang Veer Kapoor (Samir Soni). Sebaliknya, Jay Dhingra (Imran Khan) si astrada, asisten sutradara yang turun tahta jadi bawahan Simran karena kelakuan yang minus itu, adalah pembenci hal-hal yang berbau drama & cinta-cintaan. Bisa menebak kelanjutannya? Yap, pasti tidak jauh dari perkiraan Anda kok. Bahkan klimaks dan permasalahannya bisa diprediksi dengan tepat. 


Lalu apa yang menarik dari film ini jika plot dan ceritanya bisa dikira-kira? I Hate Luv Storys memenuhi segala persyaratan film yang menarik: pasangan yang cantik & tampan, akting yang OKE BANGET, detil yang mencuri perhatian, komposisi sinematografi yang nyaman dipandang mata, dan khas film India, lagu-lagu yang gampang dinyanyikan, lirik puitis nan menawan serta gerakan tari yang mudah ditirukan & memorable.

Gerakan yang mudah dihafal di lagu I Hate Luv Storys:

Lagu sedih: Bin Tere..

Saya suka betul dengan film, baik sebagai produk atau pun proses produksinya. I Hate Luv Storys adalah film kedua produksi India setelah "Om Shanti Om" yang menceritakan bahwa pemeran utamanya adalah pekerja di industri Bollywood. Adegan "di balik kamera" yang lucu & menyenangkan ditunjukkan dalam lagu Jab Mila Tu dan Bahara Bahara:


Tapi sekali lagi, yang saya kagumi adalah chemistry yang terbangun antara Sonam dan Imran. Mereka punya "sesuatu" yang mirip dengan apa yang dimiliki Shahrukh-Kajol di Kuch Kuch Hota Hai, 11 tahun silam. Campur tangan Karan Johar sebagai produser tentu tidak bisa dilepaskan dari keseluruhan film ini. Tapi dari film ini, saya belajar banyak: betapa tidak seharusnya minder itu muncul atas ide yang umum. Sesuatu yang umum ini ketika dikemas dengan sentuhan personal, penuh ketelitian dan komposisi yang cermat, dapat menghasilkan hasil yang maksimal. Paling tidak, untuk film I Hate Luv Storys, ia maksimal secara ekonomis*.


PS: I Hate Luv Storys berbujet $ 3.77 juta dan berpenghasilan kotor $ 13.04 juta. =D



film

Rann: Weker untuk India, atau Indonesia Juga?

22:15:00

Jikalau anda menyukai film India sejak munculnya Slumdog Millionaire, 3 Idiots, My Name is Khan (saja), maka anda adalah orang-orang yang merugi. Jika anda telah mengenal film India mulai dari Kuch-Kuch Hota Hai, Kabhi Kushi Kabhi Gham, Mann, Hum Dil De Chuke Sanam, Dhoom, Filhaal, Main Hoona maka anda orang yang hidup sewajarnya. Tetapi jika anda telah menonton Chandni Bar, Devdas, Sawaariya, Dostana, Om Shanti Om, Mother India, Nayak, Phir Bi Dil Hai Hindustani, Shakti maka anda termasuk orang-orang yang beruntung. =P
                                                           
Untuk yang baru melihat 3 judul pertama, jangan tersinggung dengan pernyataan saya di atas. Saya hanya menyayangkan jika anda hanya melihat 3 film itu saja dan menganggapnya luar biasa. Mereka hanya cerminan industri film India secara parsial. Mereka hanya pucuk-pucuk gunung es saja, karena karya yang lebih luar biasa banyak sekali jumlahnya.

Di sini saya tidak ingin berkomentar lebih jauh tentang film India, tetapi ingin merujuk 1 judul film yang baru saja saya tonton yaitu Rann. Film ini sangat menarik untuk teman-teman yang memelajari ilmu Komunikasi khususnya, karena bercerita tentang media (televisi). Tetapi untuk pemerhati politik, media & kawan-kawan yang mengaku humanis, pasti akan tertarik juga.

Film yang dirilis pada 29 Januari 2010 ini menceritakan tentang persaingan keras stasiun televisi berita (news channel) menghadapi gempuran rating stasiun televisi lain yang cenderung hanya menghibur saja. Momentum ini dimanfaatkan dengan baik oleh satu pihak politik yang ingin mengkudeta pemerintahan saat itu. Konspirasi pun dibikin, persaingan meruncing, pembohongan publik besar-besaran dilakukan. Lalu bagaimana kebenaran dapat dipercaya lagi? Adakah ruang untuk kejujuran itu? Tak ada yang peduli. Semua orang terikat kepentingan masing-masing, lari ke berbagai arah untuk cari selamat & keuntungan.

Film ini menggunakan cukup banyak tokoh (untuk menggambarkan kerumitan polemiknya) tetapi sangat fokus dalam penggambaran karakternya. Wajah yang anda kenali mungkin hanya Amitabh Bachan, atau Paresh Rawal sebagai antagonis, tetapi aktor & aktris yang lain cukup mumpuni memerankan karakter masing-masing. Uniknya, pengemasan film ini layaknya film thriller & horror. Suasana film dibangun dengan kelam, warna yang digunakan pun berkisar pada hitam, abu-abu dan biru. Musik latar pun tidak beda seperti saat kita menonton Orphan yang mencekam. Tempo film dijaga sangat pelan dengan beberapa titik aksentuasi untuk menunjukkan bahwa apa yang diceritakan ini adalah persoalan yang rumit, besar dan terjadi dalam jangka waktu yang panjang.

Posisi media sebagai salah satu pilar demokrasi, rasa-rasanya takkan habis diceritakan dalam satu-dua film saja. Di layar lebar India misalnya, paling tidak ada Nayak dan Phir Bhi Dil Hai Hindustani yang menyoroti produksi pertelevisian. Keduanya menyoroti peran penting reporter/jurnalis (dalam Nayak, tokoh utama adalah camera-person) dalam memroduksi berita. Di Indonesia, sitkom Kejar Tayang (Trans TV) turut mengupas hal-hal di balik pertelevisian, dengan cara komedi tentunya. Mungkin yang sejenis adalah serial televisi Dunia tanpa Koma (RCTI, 2006), tetapi dari institusi surat kabar. Rann sendiri lebih kompleks. Ia ingin menceritakan secara holistik tali-temali serta tumpang tindih yang ada dalam dunia pertelevisian.

Menonton & membaca Rann seperti layaknya bercermin bagi saya. India & Indonesia serasa sama saja. Apa-apa yang dihadapi tak jauh beda. Korupsi, politik yang kotor, terorisme, pertikaian beralasan agama, media yang tidak jujur. Kepemilikan media di jaman ini, memiliki kekuatan yang sulit diingkari. Setiap rumah punya televisi, setiap orang (paling tidak) pernah menonton televisi. Dan lebih ironisnya, pemilik-pemilik media di Indonesia malah jelas-jelas memiliki afiliasi politik masing-masing. Doh! *tepok kepala*

Media has their big power impact. Meminjam Lord Acton's dictum,  "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely", fellas.

O Indonesia, pintar & bijaksanalah!