finance

Sebenarnya, Kita Harus Seberapa Kaya Sih?

01:08:00

Saya baru beberapa hari mengikuti Fellexandro Ruby di Instagram. Ada satu postingan yang membuat otak saya terus-terusan berpikir.

Klik gambar untuk menuju post @fellexandro

Dalam postingan tersebut Ruby mengawali dengan data penelitian oleh Gallup di Amerika yg menanyakan seberapa sih kaya itu dan mendapatkan hasil bahwa 'kaya' adalah memiliki 2x pendapatan saat ini. Semisal sekarang memiliki pendapatan 100ribu, maka kaya adalah 200ribu. Setelah punya 200ribu, menurut mereka kaya adalah 400ribu. Begitu seterusnya. 

Menurut saya, bahasan Ruby ini benar & menarik, tapi masih ada kelanjutannya. Sebenarnya, ada ga korelasi antara pendapatan & kebahagiaan/kepuasan hidup? Dua penerima Nobel Ekonomi Danny Kahneman & Angus Deaton melakukan penelitian: What's the correlation between "Life Satisfaction" & Incomes. Yang mereka cari tidak hanya sekadar korelasi, tapi ada nilai ambang batas ga? Apa ada titik (pendapatan) dimana ketika kamu sampai di titik itu, secara umum kamu ga akan kesulitan mencapai kebahagiaan?


Ternyata ada! It's $75000/tahun. Jadi kesimpulannya kalau sudah memiliki pendapatan segitu, tingkat kebahagiaanmu itu tidak akan terpengaruh banyak dengan pertambahan duitmu. Jadi misal di awal ketika pendapatan cuma $10rb/tahun, ketika dapat pendapatan lebih, itu akan berpengaruh sekali ke tingkat kebahagiaanmu. Tapi setelah $75rb/th, pertambahan materi itu nggak begitu pengaruh lagi ke tingkat stress, seberapa kamu sedih, etc. Mengapa $75ribu? Tidak begitu jelas mengapa, tapi di penelitian tersebut mereka tahu kalau angka itu wajar karena kira-kira dg uang segitu kebutuhan apa aja sudah ter-cover di US.


Tentu nilai ini tidak bisa dikonversi mentah-mentah dalam konteks pendapatan di Indonesia. Terlalu banyak faktor & konteks yg harus dipertimbangkan untuk hal ini. Then what? Belajar dari pembahasan ini saya mendefinisikan nilai ambang batas untuk kekayaan saya adalah... mangkok dengan irisan banyak macam buah
Klik gambar untuk menuju post @vinkamaharani

Ya, ini adalah definisi kaya bagi saya: bisa belanja buah berbagai macam. Tentu ini potret sensus buah di kulkas dalam kondisi setelah belanja. Jika akhir minggu tentu beda kondisinya. Tapi tunggu, mari saya jelaskan mengapa bagi saya bisa belanja buah = kaya raya
1. Buah: think about health first and it's self-caring. "Eat the rainbow", 5 (portions) a day, adalah beberapa jargon untuk menekankan pentingnya konsumsi beragam buah & sayur. Manfaatnya nyata dan saya percaya ini bentuk self-care yg utama karena langsung berpengaruh kepada kesehatan, bahkan juga konsentrasi & performa.
2. Buah: planned consumption. Masalah besar dalam bujet dan konsumsi dalam keluarga itu kurang perhitungan. Bujet kurang, jadi masalah. Bujet oke, tapi konsumsi ga maksimal, jadi masalah di sisa makanan/waste. Butuh waktu, tapi akhirnya saya bisa mengukur seberapa banyak buah yg dibutuhkan keluarga saya. Jadi, buah itu seperti "lambang" hasil belajar saya dalam merencanakan konsumsi keluarga.
3. Buah: all needs are fulfilled. Dulu, buah itu saya golongkan kebutuhan tersier. Feeling ini masih menancap sampai sekarang. Jadi, setiap saya memandang buah yg akan saya makan, ada perasaan syukur & aman bahwa kebutuhan pokok saya sudah terpenuhi & bisa makan buah.
Itu adalah alasan saya memaknai kaya dari semangkok buah. Apalagi standar ini mudah "diakali", misal beli buah yg sedang musim atau buah lokal agar lebih murah. Meski uang yg dihabiskan lebih sedikit, tapi esensi kaya raya tetap tercapai dan tetap ayem tentrem di hati.

Tabel dari penelitian Kahneman & Deaton

Tabel dari penelitian Kahneman & Deaton
Pembicaraan ini berlanjut ketika saya berdiskusi dengan Iphip, dimana kami sama-sama penasaran bagaimana jika di Indonesia ada yang melakukan penelitian ini, pasti menarik sekali. Menurut saya nilai ambang batas ini penting karena kita bisa bilang dengan bukti nyata bahwa kita ga perlu kok keblinger mengejar harta terus-terusan, merasa "dibalap" saat tetangga punya mobil baru atau merasa bersaing tentang duit. Karena toh bisa jadi malah pusing dan turun kebahagiaannya setelah lewat angka yg lain (di tabel tersebut $160rb ya). Mending kalau sudah sampai ambang batas tersebut, tenaganya dipakai untuk hal-hal yg bikin happy ajaa.. ☺
x

budaya

Tempat Yang Aman & Nyaman Bagi Geminian: Yorkshire

01:50:00

Berpindah ke negeri orang, tentu ada rasa takut dan was-was. Bagaimana jika lingkungannya tak ramah? Bagaimana jika saya tidak bisa beradaptasi? Bagaimana dengan Hayu? Alhamdulillah, kami pindah di tempat yg tepat. Kami pindah di mana senyum & sapaan adalah hal yg mudah ditemui, bahkan seperti timpang jika mempertimbangkan betapa individualisnya kehidupan di sini. Saya bisa berargumen bahwa Yorkshire adalah tempat yang "aman & nyaman" bagi para Geminian (dan siapapun) untuk tinggal.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Panggilan yang lazim digunakan untuk menyapa orang lain (asing maupun yg sudah kenal) adalah Love, Darling, Sweetheart, Mate & Lad. Hal ini sangat umum, dipakai oleh siapa pun kepada umur berapa saja. Datanglah ke pasar, tempat-tempat umum yang dikelola oleh native, maka kalian akan mendapat sapaan hangat ini. Malah tidak jarang ditambah dengan kedipan mata. Dan iya, ini mayoritas semua orang ya gini, nggak orang jual di pasar, pak-ibu tukang pos, tukang ledeng, security, siapa saja. Kalau di Indonesia menyapa seperti ini bisa-bisa sudah dicap genit, jablay, dll.

Apa hubungannya dengan Gemini? Yah, karena beberapa kali baca bahasan zodiak misal di akun Alexander Thian @amrazing tentang Gemini yang di-bangsat-brengsek-in karena "baik & ramah sama semua orang". I know (perhaps) it's just for fun to judge people instantly by the zodiac, tapi setelah tinggal di sini selama 6 bulan, perspektif saya berubah. Bisa jadi yang salah bukan orangnya, tempat & standarnya saja yg belum pas. Para kawan dengan zodiak Gemini, menabung yang banyak terus pindah sini deh, you won't be misjudge prematurely. Haha.

Tapi, penasaran aja sih, kalau premisnya "baik sama semua orang" = bangsat; berarti yg ga bangsat = "jahat sama semua orang"? Isn't it even more twisted logic?

I don't need the answer anyway, because I will still be kind to everyone. Cheers, Love!⠀⠀⠀

business

Bootstrapping is Cool!

21:17:00

Dua hari lalu kakak saya,mas Andre @miebutoijo share artikel menarik tentang bagaimana founder dari Tatcha tidak mengambil gajinya selama 9 tahun, menggunakan-memutar dana tersebut untuk mengembangkan Tatcha. Karena ia punya hutang kira-kira 1juta dollar untuk pendidikannya (student loan untuk S1 & S2), ia pernah menjalani 4 side job dalam kurun waktu yg sama untuk melunasi hutang & membiayai bisnisnya.

Iyaaa, Tatcha yg skincare premium ituuuu. Usaha untuk mengatasi masalah dengan resource yg ada ini disebut bootstrapping. Jadi tidak mengandalkan kredit, tidak mengutamakan suntikan investor. Dan saya suuukaaaa sekali prinsip ini. Karena sangat realistis, praktikal & memberi harapan bagi saya yg bukan anak sultan atau orang yg tajir melintir. Persis juga seperti apa kata @garyvee, audit pengeluaranmu, nabung, kerja tambahan untuk mewujudkan mimpimu.

Terus apa hubungannya dengan L'Oreal ini Vin? Di beberapa post yg lalu saya pernah bercerita bahwa saya memiliki riwayat kulit yg tricky, beberapa kali terkena penyakit autoimmune termasuk vitiligo. Perawatan kulit jadi kebutuhan mutlak & harus disisihkan karena, belajar dari pengalaman, kalau tidak dirawat efeknya sering langsung dramatis. Tapi ceritanya bootstrapping, skincare kan Mahal, njur pye? Banyak jalan menuju Roma, kawans. Saya termasuk rajin mengumpulkan poin dari belanja sehari-hari (dulu di Indonesia biasa di Alfamart & Shopback), lumayan bisa subsidi silang untuk skincare. L'Oreal ini harga aslinya £12, sedang diskon 50% jadi £6, dipotong poin senilai £5, jadi cuma bayar £1 atau 18ribu rupiah. Tiap bulan saya menyisihkan £5-10 untuk skincare (90-180ribu rupiah), asal disiplin pasti bisa untuk mencukupi kebutuhan.

Saya berharap semakin banyak orang yg beranggapan nabung itu keren, ngirit demi mimpi itu harus disupport, etc. Feed IG tidak penuh orang pamer barang branded, tapi bercerita & berbagi cara mencapai mimpinya. Semakin banyak yg melakukan pasti bikin semangat & jadi norma baru. Ngirit itu bukan medhit. Bootstrapping is cool, cheapskate is needed. 😉

lesson

Hanya PadaMu Aku Bersandar

04:44:00

Kadang "settingan" Gusti Allah itu hanya tepat untuk diterima, tanpa perlu dinalar, tanpa perlu dipertanyakan. Selasa lalu saya berangkat ke Birmingham. Perjalanan yang sudah direncanakan jauh hari, tiket & cuti sudah dipersiapkan. Di tengah perjalanan saya mendapat telpon, ada penghuni gedung tempat saya bekerja, meninggal dunia. Ketika pulang dan bekerja kembali, di tiap shift banyak sekali yang bertanya, apa yang terjadi, apa sebab & bagaimana bisa terjadi. Saya tidak tahu, dan kadang dalam posisi ketidak tahuan itu terasa menyesakkan. Rumor beredar, bahwa penghuni tersebut mengakhiri hidupnya sendiri. Tidak seperti di Indonesia, di sini jika polisi serta pihak berwajib yang terkait sudah memberi batas, ia meninggal maka itu saja yg perlu dan patut anda tahu.

Setelah memastikan identitas penghuni yang meninggal (bangunan ini cukup besar, meski sudah bekerja 3 bulan, saya tidak mungkin hafal semua orang), mau tak mau ada penyesalan tumbuh. Pertemuan terakhir saya dengannya ketika di atas bus seusai menjemput Hayu pulang sekolah. Matanya terpaku di layar gawai. Saya turun dulu, kemudian heran karena ia tak ikut turun. Andai saja saat itu saya menepuk pundaknya, jika saja... Kalimat ini terngiang terus menerus di kepala saya. Lalu ketika kemarin saya membaca berita bintang K-Pop, Goo Hara ditemukan meninggal, dengan dugaan bunuh diri, runtuh juga akhirnya air mata. Mengapa (harus begitu)? Kesakitan seperti apa yg ia rasakan hingga memilih jalan tersebut? Mengapa manusia bisa sangat jahat terhadap sesamanya?

Pagi itu saya menyampaikan kepada atasan, apa saja yang ada di benak saya, apakah ada yang bisa lakukan. Setelah itu rasanya sangat lega. Beban di pundak ini terangkat seketika. Beruntung di tempat saya bekerja ada wellbeingness officer, atau yang bertanggung jawab dalam dukungan mental. Ia tak hanya mendukung pelajar (yang merupakan klien kami) tapi juga karyawan. Ia memastikan & meyakinkan saya bahwa perasaan berat yang saya alami adalah wajar dan saya tidak harus menjalani semua ini sendirian. Atasan dan pihak universitas siap bertindak agar rumor dan kegelisahan di antara para penghuni dapat mereda.

Seusai itu saya sandarkan semuanya padaNya. Ia pun sudah menata semua dengan sempurna. Tiga minggu ini saya menjalani kerja tambahan di kantor pusat, jadi jadwal padat merayap. Fokus saya hanya pada memastikan selalu ada makanan yang siap disantap di rumah, bergantian dengan suami untuk antar jemput Hayu tepat waktu, juga bekerja dengan baik & tak terlambat. Pulang ke rumah saja rasanya sangat bahagia, karena mengarungi cuaca yang muram di luar sudah cukup menantang. Tidur tak lebih dari pukul setengah sebelas malam, agar stamina tetap terjaga. Betul-betul Allah Maha Baik, skenario ini jadi pelajaran untuk menerima & melepaskan diri ini sebagai makhluk. Menerima kapasitas diri ini dan tak memaksakan kehendak.

Dari sini muncul ketenangan, kejernihan berpikir. Kawan sepekerjaan kaget sekali ketika mengetahui saya masuk ke kamar mendiang untuk mengecek beberapa hal atas arahan atasan. Ia bertanya, apa kamu tidak takut? Ia merasa takut karena kesimpangsiuran penyebab kematian gadis ini. Saya hanya menjawab, apapun penyebab kematiannya ada beberapa hal yang memang harus dilakukan, maka saya lakukan saja. Jujur sempat terasa takut, atau lebih tepatnya tak nyaman. Tapi kemudian saya tersenyum sendiri, mengingat bagaimana ketika Bapak saya meninggal justru hal yang saya lakukan adalah berlama-lama berada di kamar beliau. Jika saya bisa melakukan hal itu, maka mengapa saya tidak mampu untuk sekadar masuk & melaksanakan tugas saya.

Sungguh, Allah adalah sebaik-baik pembuat rencana.

journey

Pertanyaan-Pertanyaan tentang Kepindahan Kami

15:25:00

Beberapa hari lalu ada yang bertanya, mengapa kami harus berpindah ke Leeds? Apakah karena pak Rendy sekolah lagi? Hehe, ya, saya tidak menjelaskan ini di postingan sebelumnya. Betul, pak Rendy sedang menempuh studi lanjutan di sini. Mengapa harus ikut semua? Mengapa tidak Bapaknya saja yang berangkat? Butuh biaya banyak kah? Apakah tidak takut? Bagaimana dengan sekolah Hayu? Apa tidak kasihan dengan Hayu yang harus beradaptasi? Kira-kira itulah pertanyaan-pertanyaan yang paling banyak saya dapatkan dari kawan & kerabat ketika mengetahui rencana kami untuk berpindah ke Leeds. 

Pertanyaan awal adalah yang paling mudah dijawab: Mengapa harus ikut semua & tidak hanya Bapaknya saja yang berangkat? Karena kesepakatan. Haha. Sebelum saya menjalin komitmen dengan suami, kami sudah ngomong ngalor-ngidul jauh sekali ke depan yang menghasilkan beberapa kesepakatan mendasar di antara kami berdua. Salah satunya adalah no living apart/long distance marriage. Itulah mengapa dulu sejak awal, tepat seusai pernikahan saya langsung ikut ke Jogja, ketika pak suami mengambil master. Tentu setiap pilihan ada konsekuensinya. Misal, saya tidak memilih karir yang mengharuskan ikatan kedinasan, mempersiapkan tabungan lebih karena harus siap ongkos hidup yang lebih tinggi, dst. Menurut kami, konsekuensi ini sebanding dengan rasa damai & ayem ketika kami bersama-sama setiap harinya. 

Apakah butuh biaya banyak? Jujur, iya, hehe. Meski banyak versi kami belum tentu sama ya dengan versi teman-teman pembaca. Jawaban ini sepertinya akan saya bahas di postingan lain karena kebetulan ada kawan yang meminta informasi rinci, sebab berencana untuk membawa keluarga juga ketika lanjut studi.  

Apakah tidak takut? Takut, sedikit. Was-was, tak berhenti kepikiran tapi di saat yang sama juga senang dan tertantang. Bagaimana dengan sekolah Hayu? Hayu tentu akan bersekolah di sini, bukan suatu masalah. Apa tidak kasihan dengan Hayu yang harus beradaptasi? Hm, saya yakin bahwa proses adaptasi ada tantangan masing-masing, tidak hanya untuk Hayu tapi juga saya & suami. Saya percaya kami bisa mengatasinya, termasuk tentang adaptasi sekolah Hayu. 

Tentang sekolah Hayu, ada yang menarik karena di saat yang bersamaan di tanah air sedang cukup riuh protes pendaftaran sekolah dengan cara zonasi. Di sini, kami pun mengalami hal yang sama karena usia Hayu 4 tahun sehingga masuk di tingkat Reception dan pendaftarannya pun tersentralisasi diatur langsung oleh City Council atau Dewan Kota. Apa tidak ada sekolah favorit? Ada, ada ranking penilaian masing-masing sekolah yang jelas terpampang & bisa diakses publik kriterianya apa saja. Tapi apa tidak rebutan? Ya tentu ada persaingan ketat rasio pendaftaran di sekolah “unggulan”, tapi sekolah juga sudah memiliki kebijakan atas indikator prioritas apa yang digunakan untuk menerima siswa. Saat ini kami masih dalam tahap menunggu “penawaran” resmi dari sekolah, jadi saya ingin menyelesaikan seluruh proses dulu sebelum bercerita selengkapnya tentang pendaftaran sekolah Hayu. Semoga nanti bisa menjadi sudut pandang yang segar dan gagasan alternatif sehingga pembaca tidak semata-mata ngotot di pro atau kontra atas sistem zonasi. 

Semoga bisa menjawab pertanyaan di benak kalian. Cheers!

family

Perjalanan Surabaya-Leeds (Bagian 2)

16:16:00


Apa yang kalian lakukan dalam penerbangan selama 14 jam? Tidur, makan, tidur lagi. Ada untungnya juga Hayu tidak tidur sama sekali di perjalanan sebelumnya, karena dalam penerbangan dari Hongkong ke London 75% dilewatinya dengan tidur. Ia beberapa kali terbangun sambil setengah ngelindur, tapi masih terhitung mudah diatasi. Penerbangan dengan British Airways ini yang mengesankan adalah special meal saya & Hayu diperhatikan. Untuk moslem meal, saya mendapatkan masakan dengan cita rasa Timur Tengah. Yang pertama nasi basmati & kambing, yang kedua couscous & ayam. Untuk Hayu kami order child meal saat memesan tiket. Makanan pertama tidak termakan karena ia tidur lelap, yang kedua adalah omelet, sosis, kentang dan sayuran. Yang menarik adalah di penerbangan pak Rendy, meski sudah saya request di pemesanan tiket (via situs agensi tiket), tetapi moslem meal itu tidak diberikan dan makanan yang diterima sama seperti penumpang lain. Untuk saya dan Hayu, saya mengatur juga via app masing-masing maskapai penerbangan (app British Airways & Cathay Pacific). Bisa jadi catatan untuk teman-teman yang akan terbang, menginstall app sesuai maskapai penerbangan kalian menurut saya cukup membantu. Termasuk untuk informasi terbaru & paling update untuk penerbangan kalian. Contohnya ketika HKIA sedang kacau kemarin (karena demo & hal lain, cek post sebelum ini), di papan informasi hingga setengah jam sebelum boarding gate dibuka, masih belum muncul ada di gate berapa. Tetapi di aplikasi sudah tercantum sejak 4jam sebelumnya.

Heathrow pagi itu mendung. Hati saya berderap. Wow, ini adalah benua yang sepenuhnya lain. Turun dari pesawat aksen tebal khas Inggris menyambut. UK Border, tulisan besar ini terpampang besar. Antrean cukup panjang mengular. Di luar dugaan, Hayu mengeluh haus. Dan tidak biasanya, ia mengeluh sampai hampir menangis. Dengan susah payah & berulang-ulang saya menjelaskan bagaimana keadaan kami yang harus mengantre dulu dan baru bisa mencari atau membeli air minum. Hal ini makan waktu & kesabaran. Butuh waktu mengantre sekitar 20 menit hingga sampai giliran kami. Syukurlah pertanyaan yang diberikan kepada kami terjawab dengan lancar. Hal yang saya khawatirkan bahwa kedatangan kami yang tepat di tanggal expired visa kami ternyata tidak dipermasalahkan. Petugas imigrasi berpesan agar kami membawa paspor & BRP (Biometric Residence Permit) kami jika akan bepergian dari dan ke Inggris, karena itulah izin untuk kami tetap tinggal di Britania Raya ini. 

Pemeriksaan surat-surat lancar, selanjutnya adalah pemeriksaan barang bawaan kami. Alhamdulillah cukup cepat, bahkan saya tidak perlu melewati beberapa bagian seperti dimana pak Rendy sampai mencopot sepatu untuk diperiksa. All clear, kami pun akhirnya memasuki bagian komersial bandara Heathrow yang sibuk dan gemerlap. Sesuai yang dijanjikan kepada Hayu, hal pertama yang kami lakukan adalah beli minum. Air mineral, cemilan kacang-kacangan campur & lip balm untuk saya. Oh iya, lip balm ini istimewa. Ini adalah kado untuk saya sendiri, sekadar memento* bahwa saya bertambah umur di hari itu. Hey, saya 30 tahun!

Di Heathrow kami tak menunggu lama. Berkenalan juga dengan Sacha, teman perjalanan yang ternyata menaiki pesawat yang sama sejak di Hongkong, dan juga menuju Leeds. Ia adalah penduduk Hongkong yang datang ke Leeds dengan tujuan untuk melamar tunangannya. Bagaimana ya kabarnya sekarang, semoga lamarannya diterima. Tak sampai sejam kami menunggu di boarding gate, kemudian dipersilakan untuk masuk pesawat. Tepat sejam kemudian kami sudah sampai di bandara Leeds Bradford. Yang menarik, ketika mendarat saya sempat melihat kawanan domba berlarian. Domba, wool, pemintalan, benang rajut, wah pikiran saya meloncat-loncat senang. Itulah hal-hal yang ingin saya pelajari ketika di Leeds. Semoga Allah memudahkan.

Turun dari pesawat, kami harus menunggu bagasi. Dua puluh menit dan bagasi telah lengkap di tangan kami. Keluar dari bangunan bandara, hujan rintik-rintik. Suhu dingin pun mulai terasa. Nafas saya menjadi kabut tipis ketika berbicara. Dari pengalaman pak Rendy ia memilih menggunakan Uber untuk sampai di flat tempat tinggal kami. Tapi jika saya melakukan hal yang sama, saya harus mengganti simcard terlebih dahulu, install app dan baru dapat menaiki Uber. Karena kondisi badan yang sudah capek dan dingin, saya memutuskan untuk menggunakan taxi bandara saja. Di luar dugaan ternyata lebih murah. Tujuh belas pound terbayar dan kami pun meluncur. 

Jalan yang kami lewati berbukit-bukit. Di kemudian hari saya baru mengetahui bahwa memang area Leeds adalah area perbukitan & dataran tinggi. Rumah-rumah yang ada di perjalanan itu sepenuhnya berbeda. Hm, negara orang, daratan yang asing, tempat yang akan kami tinggali 3 tahun ke depan. Sepuluh menit perjalanan dan Hayu mulai mengeluh ngantuk. Saya bertanya kepada pengemudi taxi, berapa lama lagi jarak yang harus ditempuh. Lima sampai delapan menit saja. Saya meminta Hayu untuk tidak tidur dulu, karena jarak sudah dekat dan Bapak sudah menunggu. Hal ini ampuh membuat Hayu menahan kantuk. Tak lama taxi berhenti di depan bangunan 4 lantai yang berderet-deret. Kami tak dapat melihat nomor rumah kami yang berada di lantai atas. Bagasi pun dikeluarkan, lalu ketika saya memandang sekali lagi ke bangunan berpintu abu-abu di atas, nampak wajah familiar melambaikan tangan ke arah kami. “Bapak!” Hayu berseru keras. Perjalanan panjang ini telah usai. Kami telah sampai di rumah yang baru. Tapi petualangan kami baru akan dimulai. Bismillahirrohmanirrohim.

lesson

Depression

22:49:00

In the last week of May 2018, the world shocked. Kate Spade ended her life by suicide. Not too long, Anthony Bourdain did it too. I was shocked and lost by Bourdain's death. If you happened read my review in his book here, you know how I inspired by his writing and bravado. That's why I cried instantly after hearing the sad news & expressed it in my IG stories. I asked people for asking help if they suffered. Surprisingly, there's a friend who respond it in contra-view. She argued how it impossible for the one who suffered for asking help. Because she had post-partum depression and when she try to communicate the symptoms, the rifles of depressing thoughts she had the respond will be like : "Don't act it such a drama." "Everyone has the same problem, don't overreact."

The discussion between us became deeper. The biggest hunch of her depression came from the decreasing time for herself after having child. I could relate this so much because I felt the same way after had Hayu. But I'm not really upset or anxious about it too long because I had the antidote. As you know in my previous post when I met Diana Rikasari, I asked how she could juggling between works, business, motherhood, home. Interestingly, one point is she only working outside the home 2 days in a week. She maximized those 2 days with all the meetings, interviews, and another things needed to do outside home. She told me how in a day she could do until 9 meetings. It's a huge number and it shows how effective she managed her time outside home at once. I mean, we could see how her shoes brand UP grows, and now with Schmiley Mo and writing books too. It's possible. 


Then, I DM-ed Diana to say that I really hope she'll write a book with Motherhood theme, or how she does her business because I believe the book will help women especially for mother (like me) to be more productive and sharing her tips on time management etc. The conversation went along, she shared how she could handle the stress. The next day I read her post about it, it is really touche and well articulated. 


These rifle of incidents made me realize how important mental health to be discussed further and how shallow my knowledge on it. I want to learn self-love more and more. I want to connect better to myself, so I could do the same to other. To God. To my family. To you. 

friends

I Let You Go

22:53:00

Now I'm reading Henry Manampiring's book Alpha Girl Guide. While several ideas mentioned is not really applicable to me, there is a topic that I hope I really know before I reach adulthood: to let people go.

Parents taught us to befriend with any people, no matter about the economic status, race, color et cetera. They only forbid to befriend with "naughty" kids or evil people. But as I grow, there's so much grey area. I don't think there is much pure evil human. Many people choose to do misdemeanor on the daily life, just because. This is not the excuse, though, since I believe every deed we did is the result of consciousness and the will. But still, it's not easy to judge people is cruel and stay away from them. So how and who are the people we need to build the fence and stay away?

Om Piring, the writer's nickname, told us to let go people who toxic. They are manipulating in relationship, befriending with them force us to wear a mask and pretend to be somebody else. Later in life, I found that somehow we just not suit each other. It's not that the particular person is ill-minded or having malicious intention. We're just not meant to be for pleasing every people, vice versa. And it's okay. 

If there are relationships that I lingered too long, there was two. First, to a close relative that taught me how to set plan for brighter future in my teen age, how he always spare time in the middle of his work when in town, how to hold tight into religion anytime, yet at the end he turned to believe God in different religion he taught me. Second, to a senior in my high school who became close because I want to play cupid for him and my sister, where it lead to a close relationship with his family. I came to his weddings, his firstborn son, his parents came to my wedding, et cetera. But after a definite time he changed, choosing the different way to love our God. Bopo died and I'm waiting the condolence words, at least. Yet it never came, even after I reached out in many ways I could. I'm brokenhearted for a long time, but now I really accepted that spiritual journey is personal & the basic human right. I value their choice. Back to Om Piring's word again, relationship comes and go.

I believe some people also let me go from their life, in any reason or situation. Perhaps our path will emerge again someday, or not. To people which path differed from my life, I let you go. I hope your life will be merrier and lead to kindness. I won't hold you back and asking the reason why because I respect all of your wisdom to choose. I never wish anything but luck to anyone who consciously decide and take full responsibility of their determination. Semoga Allah merahmati.  


lesson

Donor & Toleransi Rasa Sakit

04:27:00

Jumat pagi akhirnya saya berhasil donor darah, setelah 2 kali kunjungan gagal karena tekanan darah saya yang terlalu rendah. Saya sudah ikhlas sih, kalau memang kali ini gagal lagi, berarti mungkin belum waktunya saya untuk donor darah dan move on ke rencana bucket list after weaning saya selanjutnya yaitu puasa. Alhamdulillah, ternyata bisa juga.

Ini donor darah saya yang ketiga sejak pertama kali di tahun 2007 dulu. Kegiatan ini cukup punya banyak cerita. Misal saja, donor darah ini pernah membuat saya menyesal karena tidak bisa menjalaninya terhambat jarak. Adalah Iqbal Rais, senior saya di Sinematografi UA yang membutuhkan darah karena Leukimia yang dideritanya. Karena penyakit tersebut, donor darah harus dilakukan secara apheresis (proses pemisahan komponen darah, karena yang dibutuhkan hanya bagian tertentu seperti platelet atau trombosit) yang memakan waktu lebih lama dibanding donor darah biasa. Golongan darah kami sama, tapi saya sedang berada di Mojosari kala itu. Yang lebih sedih, beliau pulang ke pelukan Allah, tak lama setelahnya. Kejadian ini membuat saya berjanji pada diri sendiri untuk berbuat lebih dan mendukung apa saja yang berhubungan dengan kanker

Berikutnya di tahun 2013, saya sudah ke PMI untuk donor, tapi HB terlalu rendah. Eh ternyata positif hamil. Begitu pun di tahun 2014, terjadi lagi. Tiga bulan setelah saya keguguran, saya berniat untuk donor darah, hasil cek HB ternyata rendah lagi. Tidak disangka, ternyata hamil lagi.

Setelah hamil & melahirkan, saya merasa ambang batas saya dalam mentolerir rasa sakit meningkat pesat. Dulu, saya akan menjerit kecil ketika diambil darah untuk dicek HBnya. Sekarang saya bisa menjalaninya sambil mengobrol dan menggoda Hayu. Pun ketika jarum untuk donor masuk, dulu saya pasti menitikkan air mata sambil menahan sakit. Sekarang saya bisa melakukannya dengan memalingkan pandang saja. 

Hal ini menunjukkan betapa banyak manusia berubah, sembari tetap menjadi manusia itu sendiri. Hal yang saya takuti dulu, sekarang tidak begitu. Apa yang harus saya lalui dengan susah payah, bisa jadi mudah di kemudian hari. Kalaupun ada yang harus dipertahankan kuat-kuat, barangkali hanya kebaikan dan iman atas kebaikan itu sepenuhnya. 

#cocotkencono
=D

life

Convo #4: Let's Live Our Dream

23:20:00

Dawn, window opened and the fog just melt.

C: I’ve been thinking a lot, and on, and more, and for a long time.
B: About?
C: About us, about you. Do you know when you’re really attractive & cool to me?
B: When?
C: When you’re doing things that you love, passionately.
B: *smirk
C: So, this accident saddened me a lot not because of your physical wound. I mean, yes it hurts you so it hurt me too but it’s not as hurt as I saw you stare blankly from time to time. I hate that when you answered nothing to my “what’s on your mind now” question. Obviously you’ve been full of thought and not sharing ‘em just made me sad and scared at the same time.
B: Well…
C: So, my point is, perhaps, this series of low time are the exact time where we should think over our purpose. Not only the career or academic stuff like last time, but our life in general. Perhaps you should really ask again, what’s your truest dream. What’s the thing that burning all the time, you’d love them no matter what, through thick & thin? Making the school, the boxing, and the chess? I’ve been so in love selling things since I was elementary school and the knitting stuff made the love doubled. I want you to do something as passionately as I am. I believe you won’t make me and our daughter starved, until any time. That’s why, even I’m not suggesting you to quit your job or back to square one, I want you to know as if you think you have to do them, let’s do that. I’m okay & ready with it. Let’s live our dream, together as ever.


Notes: Thinking to say the last 3 sentences just so scary AF. 
But after it’s been said, I feel free. Love is truly liberating, though. 

bisnis

Halo 2017!

23:26:00

Tahun 2016 akhir kemarin betul-betul mengubah saya. Bopo pulang ke pelukan Allah di 2 September 2016, Jumat pagi dihantarkan rengkuh hangat ibuku. Saya kehilangan beliau, seperti ada bagian tubuh saya yang dipotong tanpa kehendak saya. Amputasi. Sampai saya kemudian sadar, bahkan tubuh ini bukan milik saya sendiri. 

Di sisi lain, karena Bopo pula saya memilih untuk bangkit dan menghidupkan kembali mimpi-mimpi saya. Karena saya yakin, jika saya dapat bermanfaat dan berguna untuk sesama, maka saya dapat menjadi amalan Bopo yang tak terputus. Dengan membuang keraguan satu persatu, saya menapaki rencana-rencana yang sudah saya ketahui betul arah tujuannya sejak dulu, tapi hanya saya pendam dalam benak saja.

Saya bertemu dengan inspirasi saya (yang juga subjek penelitian buat skripsi, hehe) Diana Rikasari di acara yang diselenggarakan oleh Sunsilk di Surabaya, Oktober lalu. I definitely know I'll love her more after vis a vis. Diana energinya positif sekali, dia tidak menolak bahkan ketika ketemu pertama kali saya langsung bilang, May I hug you? Jawabannya, "Boleh banget, baik banget sih..." Padahal harusnya saya yang berterima kasih ya. =)

Diana persis seperti yang saya baca selama ini, tapi ternyata ada satu yang baru saya tahu di pertemuan kemarin, ia dapat memberikan materi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar plus tidak elo-gue! Percayalah, ini nilai yang plus plus plus yang membuat saya tambah kagum. Penggunaan bahasa itu penting, karena itu berarti ia dapat menyesuaikan dimana ia berada dan itu juga bentuk respek yang tak usah diproklamirkan keras-keras pakai corong suara. Eh, saya juga dapat bonus, menang tantangannya. Lumayan, buat modal jualan. Hehehe.


Mencanangkan resolusi tahun ini, sembari menyimak lagi resolusi tahun kemarin yang belum tercapai. Untuk tahun lalu, saya memang hanya membuat 3 poin resolusi dalam hal rajut-merajut. Tahun ini saya memberanikan diri untuk memiliki beberapa resolusi terkait hobi, bisnis, motherhood & diri saya pribadi. Sekarang saya percaya bahwa untuk dapat menjalani bisnis/cita-cita/impian bukanlah dengan memisahkannya dengan kehidupan personal, melainkan memeluk dan menerima mereka semua secara utuh. Salah satu contohnya adalah merasa baik-baik saja meski baru menulis tentang resolusi di bulan kedua, haha. Bulan Januari sudah ada prioritas keluarga, investasi, liburan & sakit. Bulan Februari membetulkan rumah, Hayu opname & suami kecelakaan. Diri saya yang dulu mungkin merasa tulisan ini sudah basi, tidak layak ditulis dan dimuat di blog dan feel disappointed toward myself for not completing a target by the time. Bisa dibilang cara pandang saya yang baru adalah lebih realistis, tapi tidak pernah berhenti. Kalau kata Jennifer Kem, business coach yang saya ikuti di banyak media sosial, shift-pivot-perform. Kalau ada hal yang membuat kita tidak dapat mengikuti rencana, ya yang fleksibel, cari jalan keluar dan lakukan hal yang sudah seharusnya dilakukan.

Perspektif ini dengan sukses menaikkan pendapatan bisnis saya hampir 3x lipat di 30 hari pertama, di rentang November-Desember tahun lalu. Mau tidak mau saya merombak ulang pemikiran-pemikiran saya selama ini. Hal ini juga menjadikan saya percaya diri untuk mendaftar mimpi-mimpi yang selama ini cuma lari-lari di sebatas imajinasi. Targetnya lumayan loh, tahun ini! =D


  • Membangun sistem untuk Braavos Knit. Entah kecil atau besar, sistem dalam usaha itu perlu. Biar bisa tetap berjalan walau anak sakit atau harus melancong ke tempat yang jauh. I'll work to solve this. 
  • Belajar lagi tentang mencelup benang. Setelah mencoba sekali-dua, ternyata mencelup benang itu asyiiiiiikkk sekali! Saya ingin bisa mencelup benang lokal dengan pewarna yang ramah lingkungan, kalau bisa pewarna alami lebih bagus lagi.  
  • Mengajar beberapa kelas yang berhubungan dengan merajut & mencelup benang. Selama ini baru mengajar privat, one on one/two. Kepingin merasakan mengajar yang 5-10 orang gitu.. Hehe. 
  • Bermain dengan Hayu minimal 1 jam per hari berdasarkan Montessori atau teknik apa saja yang berdasarkan studi & penelitian. Selama ini ya bermain aja, kurang informasi mendalam mengapa permainan ini penting untuk dia. Meski setelah belajar & baca, ternyata banyak kegiatan sehari-hari yang dipraktikkan itu sudah memenuhi kriteria kebutuhan belajar di umurnya. Intinya, belajar lagi untuk Hayu, biar ia pun senang belajar sampai dewasa kelak. =) 
  • Menata rumah agar jadi tempat ternyaman sedunia. Selama ini saya berlindung di balik "Ya namanya juga ada anak kecil di rumah, berantakan tidak apa-apa". Saya harus mengakui kalau itu alasan semata. Melaksanakan baiti jannati deh untuk resolusi ini. 
  • #wajahbodiparipurna2017. No explanation needed, right? Hahaha. 
Di postingan terdahulu saya tidak menceritakan apa yang digenggam/isi kantong Rabbi Simcha Bunem yang lain, padahal ini perihal "Two Pockets". Sebelumnya saya hanya menyitir bahwa beliau menyimpan kertas bertuliskan V’anokhi afar v’efer”—“I am but dust and ashes.” Di kantong yang lain, beliau juga menyimpan Bishvili nivra ha-olam—“for my sake the world was created.” 

Di titik ini saya baru merasa mampu untuk menerima, bahwa sebagai manusia saya bukan siapa siapa sekaligus saya dapat mencapai apa pun yang saya usahakan dengan ridhoNya. Yuk, lanjut berkarya! 


friends

Bapak Ibu Peri

21:51:00

Selama delapan tahun merantau, jauh dari orang tua dalam keseharian membuat saya kesepian dan sedih di saat-saat tertentu. Terutama saat sakit. Beruntung, dalam kurun waktu tersebut saya dipertemukan dengan kawan-kawan yang baik, ditambah orangtua mereka yang sangat baik hati. Saya menyebut orangtua spesial itu dengan Bapak Ibu Peri.

Bapak Ibu Peri ini punya kesamaan: pemurah & penyayang. Pertanyaan yang paling sering mereka tanyakan: Vinka sudah makan? Hari ini sudah makan apa? Dan saya tahu mereka tidak sedang berbasa-basi ketika bertanya seperti itu, karena seringkali setelahnya saya sudah duduk bersama, bersantap & berbincang dengan mereka. Sebagai remaja yang hobi wira-wiri berkegiatan ini itu, perut saya ini bottomless, enggak ada kenyangnya. Tawaran makan siang atau lauk untuk dibawa pulang tentu bagai kejutan surgawi, dikirim oleh peri. Nikmat tiada tara untuk anak kosan.

Tak hanya murah hati, Bapak-Ibu Peri kesemuanya adalah pendengar yang baik. Mereka menghargai cerita saya bahkan sering pula meminta pendapat, masukan dari saya. They're all ears. Saya yang jauh dari ibu-bopo ini haus akan tempat untuk bercerita. Jatah pulsa yang terbatas sering jadi batasan untuk bercerita ini itu, cerita remeh yang penting ditumpahkan saat itu juga dan tak bisa menunggu saat pulang di akhir pekan. Bapak-Ibu Peri pun mengisi ruang kosong ini. Ruang yang di kemudian hari saya pahami betul, betapa pentingnya untuk diisi. Mereka ini yang membuat saya yakin bahwa tanah rantau tak sekejam dari yang terlihat. Masih banyak kebaikan & kehangatan yang tidak dibuat-buat. 

Awal bulan ini, saya patah hati. Satu ibu peri saya dipanggil olehNya. Tante Eva namanya. Ia adalah Ibu Peri yang paling sering mendadak menelepon saya. Sekedar tanya sudah makan, atau tanya bagaimana kuliah. Hal yang beberapa kali beliau ungkapkan dulu adalah ingin sekali bikin syukuran untuk merayakan hari lahir saya & anaknya, Sheila, yang kebetulan lahir di hari yang sama. Meski tak pernah terwujud, hati saya sudah terasa hangat karena ada sosok ibu yang peduli untuk merayakan hari ulang tahun saya. Dimana hal tersebut bukan tradisi yang akrab bagi saya. 

Saya teramat kecewa & sedih karena kurang keras, mengharuskan diri saya sendiri untuk menjenguk tante Eva saat beliau sakit. Apalagi sebenarnya beliau di Sidoarjo, tempat saya tinggal sekarang. Penyesalan yang sangat besar, hingga saya memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk menebusnya. 

Satu hal yang saya pelajari dari Tante Eva, kehangatan & perhatiannya sungguh berkesan bagi saya. Saya adalah seorang ibu sekarang, dan saya harus belajar bagaimana memeluk teman-teman anak saya nantinya, menerima & menghargai bagaimana seutuhnya mereka. Agar tak perlu mereka mencari perhatian di tempat yang tak pantas atau tidak tepat. Agar dunia ini hangat & penuh kasih. 

Selamat jalan, Ibu Peri. Engkau tak pernah pergi, hanya pulang ke rumah terindah di surgaNya. 

life

Media Sosial: Inferioritas & Menjaga Ego tetap Kenyang

23:00:00

Ditulis pada 9 Mei 2016

Gambar dari sini
Akhir minggu ini kita di Indonesia diganjar dengan libur yang lebih panjang dari pada biasanya. Waktu luang yang jarang didapat itu membuat saya bisa menjelajah media sosial lebih banyak, lebih lama & lebih teliti. Maklum, biasanya hanya dialokasikan untuk Instagram (akun @braavos_knit), Twitter pribadi dan Tokopedia. Eh, yang terakhir bukan medsos sih ya, tapi jualan. Hehe.

Setelah menikmati aliran linimasa, alih-alih merasa terhibur saya merasa rendah diri. Seorang yang saya tahu memuat gambar aurora yang luar biasa indah yang ia lihat di Norwegia, kawan SMA berfoto dengan kawan-kawannya usai pesta lengkap dengan limusin & latar belakang jalan dengan pantulan warna-warni lampu New York. Ada juga yang merajut di kapal layar pribadinya, atau di griya tawang yang disewa khusus untuk liburan kali ini dan tempat-tempat eksotis lain. Pemandangan yang seriously too good to be true ini bertebaran di media sosial saya, atau mungkin kalian juga. Bagian terburuknya adalah, this is real, bukan adegan di film-film. Haha. 

Bukan sih, bagian terburuknya adalah saya iri. Bagian terbaiknya adalah saya tahu & sadar betul bahwa saya sedang iri. I acknowledged myself that I was jealous, and feeling inferior. I didn't deny it, because it helped me to go through the next step, how to heal the jealousy. Karena saya paham apa yang sedang terjadi dalam benak & perasaan saya, maka saya pun mudah menemukan antidot-nya: bersyukur. Itu saja, beres sudah.


Kalau saya amati, sosial media memang jago sekali menyentuh ego manusia. Ia bahkan dapat membuat ego kenyang atau lapar seketika. Puluhan love saat mengunggah foto di Instagram tidak dapat disanggah membuat ingin mengunggah foto lain yang lebih wah, lebih oke, lebih spektakuler agar tidak hanya puluhan, tapi ratusan bahkan ribuan likes yang terpampang di akun saya. Manusiawiiii banget, karena likes itu dianggap sebagai pengakuan, seperti emblem yang berjejer di selempang kepanduan jaman saya masih Pramuka dulu. I did this, I did that. Pertanyaan selanjutnya adalah: mengapa saya melakukan ini? An sich karena pengakuan yang saya dapatkan? Kalau iya, pengakuan siapa?

Saya suka mengunggah foto hasil masakan saya, dipuji banyak orang, dan seterusnya. Tapi saya lebih suka ketika anak + suami saya suka dan makan masakan tersebut dengan lahap. Semakin jauh saya berpikir & bertanya pada diri saya sendiri, semakin saya menemukan bahwa yang paling penting malah bukan emblem/lencana/embel-embel yang terlihat atau tertera dengan jelas, cetha dan bisa dibaca setiap orang. Tinggal bagaimana saya perlu belajar terus, agar bisa semakin mahir memilah yang penting untuk dirasa dan mana yang pantas diabaikan saja.


Sosial media memang seperti titian tali licin yang harus dilewati dengan hati-hati. Mudah sekali tergelincir dan menjadikannya muspro, sia-sia. Buat apa mengikuti/menggunakan sesuatu yang hanya membuat diri ini insecure, rendah diri, iri dan perasaan negatif lainnya. Sisi positif sosial media juga bejibun kok. Untuk yang satu ini, mari bersikap pragmatis, mengeksploitasi kebaikannya & tak perlu repot dengan yang tidak baik. =)

life

(Menjadi) Ibu Rumah Tangga

21:55:00

Draft telah ditulis sejak 2013, tetapi masih relevan saat ini. 

"Wah, udah tinggal di sini lagi ya.. Sekarang Vinka sibuk apa?"
"Alhamdulillah, sibuk jadi ibu rumah tangga."

Lanjutan alternatif 1:
"Senangnya jadi ibu rumah tangga. Enak ya, nggak mikirin kerjaan atau kantor. Nggak lembur, nggak bingung report bulanan. Bisa ngapa-ngapain aja terserah ngatur sendiri. Haduh, kalo kayak aku rapat udah bla bla bla......."

Lanjutan alternatif 2:
"Oh iya.. Lagian kalo udah nikah kan ya emang mending ngurus rumah tangga aja. Apalagi cewek, kan ga harus ngejar karir. Di rumah aja gakpapa.."

Lanjutan alternatif 3:
"Di rumah aja ya? Iya sih, sekarang cari kerjaan susah... Lagian ntar kalo udah punya anak pasti udah ribet sendiri kan. Emang di rumah aja itu gakpapa..."

Saya tidak tahu, apakah pertanyaan & pernyataan ini sering dialami oleh teman-teman yang baru menikah dan memilih menjadi ibu rumah tangga atau tidak. Tapi untuk saya: sering sekali.

Kombinasi alternatif lanjutannya terkadang dikombinasikan satu sama lain. Tapi ketika digaris bawahi ya tiga poin di atas itu yang paling mengemuka. Agak jengah juga lama-lama. Itu sebabnya saya jadi ingin menuliskan tema ini.

Jika kamu capek dengan pekerjaanmu, tidak mau direpotkan lembur atau report bulanan, ya jangan kerja, atau jangan mau lembur. Report bulanan itu bagian dari pekerjaan, kalau tidak mau ya tinggalkan saja. Lho, terus kalo mau makan dari mana Vin duitnya? Ya kerja yang lain, yang ga usah lembur & report bulanan, bikin usaha sendiri, ojek online. Haduh, sekarang cari kerja sulit Vin. Kamu ga tahu sih betapa susahnya.. Nah, sudah bilang sendiri kalau cari kerja sulit, sekarang sudah punya kerjaan masih ngeluh terus.

Untuk lanjutan perbincangan dengan alternatif kedua, yang perlu digaris bawahi adalah perihal pilihan. Sebagaimana manusia itu sendiri, tanpa mengenal gender, kita punya hak untuk memilih: mau menjadi stay at home father or mother, berdedikasi pada karir formal, untuk terjun di dunia politik, atau apapun. Relasinya bukan lagi harus atau tidaknya seseorang dengan jenis kelamin tertentu untuk berada di rumah, menjadi caretaker atau breadwinner tetapi bagaimana sebuah opsi dipilih dengan sadar dan paham akan segala konsekuensinya.

Senada juga dengan lanjutan alternatif 3, it's not about okay or not okay, dudes. Ini juga bukan tentang sulit atau tidaknya mencari pekerjaan. Ini tentang pilihan hidup, yang pantas dihadapi dengan gagah berani dan dinikmati sepenuh hati di semua naik & turunnya.

Entah mengapa, saat ini rasanya dunia sangat mendukung pribadi "pelari". Eskapis, lari dari "yang susah-susah". Kalau sudah terasa susah, berarti halal untuk mengeluh/kompensasi lainnya. Capek mengantre, mengutuk sana-sini di sosial media. Lembur kerja, ganjarannya harus nyalon, spa, travelling, makan enak dan bentuk "pelarian" lain. Di Better than Before, Gretchen Rubin menyatakan pola perilaku ini disebut moral licensing. Gampangnya, moral licensing itu motto "Work hard, play hard(er)". Coba pikir lagi, apa kalimat ini betul? Apa betul ketika kita bekerja keras, kompensasi yang tepat adalah bermain/bersenang-senang/have fun? Parahnya, ketika pola pikir ini telah menjadi habit/kebiasaan, maka otak tidak lagi berperan mengambil keputusan. Diri ini akan menerima perilaku ini sebagai kebenaran dan melakukannya terus-menerus tanpa berpikir lagi. The worst result motto tersebut sampai pada pemikiran "Saya kerja keras, boleh dong foya-foya". 

Mari meluruskan pikir. If you work hard, then you'll get a good salary, good return whether financially or quality of yourself. Then you could choose, what will you do with those credits. Play/having fun is an option, not the only one.  You have the power for choosing what you'll do for yourself, your present & your future. And after took your decision, let's be brave & mature to conquer all the consequences. Don't worry, you could ask help, but please, don't nag. 

Sama seperti pilihan lainnya yang patut dihormati, menjadi ibu rumah tangga juga layak ditempatkan sebagai pilihan yang diambil secara dewasa oleh pelakunya. Jika kalian ingin berkomentar atau menyampaikan pendapat atas pilihan orang tersebut, ada baiknya bertanya atau mendengarkan lebih banyak alasan di balik keputusannya. Janganlah melompat dan malah judgmental. It sucks.