korean drama

Mengapa Saya Tidak Menonton Drama Korea Saat Ini

15:34:00


Kemarin kawan saya Sheila Junniar menulis pertanyaan di Story Instagramnya: apa hal baru tentang diri kalian yang kalian ketahui setelah menjalani karantina/lockdown. Saya menjawab bahwa saya mengetahui batas "asli" dari kapabilitas dan kapasitas emosional saya. Saya menyadari bahwa ternyata saya memiliki punya batas-batas itu tidak bisa diganggu gugat. Ternyata saya sangat sensitif akhir-akhir ini. Ketika melihat video dari Boris Johnson yang baru keluar dari rumah sakit kemarin,  saya otomatis menangis. Saya dapat menyimpulkan, oh I'll hit my limit if I triggered myself to too much emotion.



Nah lalu apa hubungannya dengan drama Korea atau secara keseluruhan serial televisi? Saya tahu bahwa jika saya menonton serial televisi saya akan terkuras secara emosi. Saya merasa terhubung dan merasakan apa yang dijalani oleh tokoh-tokoh di serial tersebut. Kemudian saya sadar bahwa menonton drama Korea itu sama sekali tidak membantu di kondisi sekarang yang butuh kepala dingin, butuh suasana emosi yang stabil. Yang kedua, jika saya menonton serial televisi sebagai pelarian atau escapism, saya akan tenggelam dalam rasa bersalah setelahnya. Saya sudah pernah mengalami ini jadi saya merasa tidak ingin mengulanginya lagi. Entah bagi teman-teman, tapi rasa bersalah itu bisa "menghantui" dan malah down-spiralling my mood. Kenyataan di hari ini terasa lebih surreal dibandingkan alur cerita drama televisi. Dan saya harus mengakui bahwa saya tidak "sekuat itu", punya kapasitas untuk menonton dan mengalokasikan lebih banyak ruang dalam mental saya, untuk perasaan fluktuatif yang biasa kita dapat dari serial televisi. 



Jadi meskipun ada Clash Landing on You, Itaewon Class, The World of Marriage, Money Heist dan judul-judul lain yang melambai-lambai, saya memilih untuk skip dulu. Ada sedikit rasa sedih, mengingat menonton serial televisi sambil merajut adalah kesukaan saya. Sampai jumpa nanti ya, dear dramas

podcast

VIP Talks on Apple Podcast!

17:20:00

Kadang kalau dipikir-pikir agak mustahil untuk saya bikin podcast. Karena kemampuan editing saya ya gitu-gitu aja, ditambah ketidak-konsistenan saya. Istilah orang Jawa: ndeng-ndeng ser. Tapi saya tidak menarget banyak, yang penting jalan, yang penting bikin, yang penting berkarya biar pengetahuan saya yang sedikit ini bisa bermanfaat. Alhamdulillah sekarang sudah di episode 5+1 episode spesial. Sudah dengar belum? Di episode spesial saya dan mbak Iphip diskusi tentang film Marriage Story dan Kim Ji-young Born 1982. Yang belum dengar boleh langsung cus ke anchor.fm/viptalks ya. Di bawah ini cuplikan favorit saya yang selalu bikin tersenyum kalau dengar. 

Dan kabar terakhir yang juga menyenangkan adalah, akhirnya VIP Talks ada di Apple Podcast jugaaa. Kayaknya emang paling terakhir ya bisa di kanal Apple. Monggo yang Sheeple atau Apple fanboys bisa merapat mendengarkan VIP Talks di kala senggangmu. Klik langsung di sini!

daily

Tantangan Menjalani Gaya Hidup Zero Waste di UK

17:06:00


Selama dua tahun terakhir, saya belajar untuk mempraktekkan #rumahnolsampah. Mengurangi penggunaan plastik, menggunakan tumbler, mengkompos sampah organik saya, membeli barang "bekas" dan bukan barang baru, dll. Ada satu tantangan untuk praktek #zerowaste di sini yang rasanya ringan sekali dilakukan di Indonesia: belanja harian atau groceries. Kalau di Indonesia, pasar itu dekat & banyak, sama penjualnya pun mudah, tinggal mau "ngeyel" atau tidak untuk menghindari plastik sekali pakai. Apalagi kalau sudah punya penjual langganan, malah lebih gampang lagi untuk bertransaksi tanpa plastik/menggunakan plastik yang saya bawa sendiri. Area sebesar desa Bluru Kidul, Sidoarjo tempat saya tinggal dulu saja punya 2 pasar. Sedangkan di Leeds, pasar "tradisional" itu cuma ada di pusat kota. Terus kalau warga sini mau belanja harian di mana? Supermarket. Di mana-mana ada kalau ini. Barang yang dibutuhkan memang semuanya ada sih di supermarket. Tapi ya namanya supermarket, kemasannya plastik & kebanyakan kemasan bahan makanan sehari-hari itu tidak dapat di-recycle. Cuma beberapa barang saja yang bisa dibeli tanpa kemasan.


Minggu lalu saya baru menemukan terobosan ini dari Morrison, salah satu supermarket chain yang paling dekat dengan tempat tinggal saya. Too Good to Waste box. Isinya macam-macam bahan makanan yang bisa diolah meski lewat dari tanggal anjuran penggunaan. Iya, jadi di UK itu di tiap-tiap kemasan bahan makanan ada tanggal anjuran penggunaan atau "use by dd/mm/yyyy". Tapi faktanya, banyak bahan yang meski sudah lewat tanggal itu masih bagus & layak konsumsi. Dalam kotak ini ada macam-macam bahan makanan yang acak isinya, hanya dipastikan berat totalnya minimal 1kg. Harga box ini 1 pound atau 18ribu rupiah. Kalau dibandingkan harga normal, sudah pasti ini murah banget. Dan yang paling penting, tidak membuang serta menyia-nyiakan makanan. 


Semoga semakin banyak terobosan yang dilakukan supermarket UK, untuk mengatasi konsumsi plastik yang masif & sulit dihindari ini.

thoughts

Sick of (Overused) Empowering Word

03:58:00


Have I told you that my life is like a "season"? Like every time it has the theme, with its own ambiance and aura. So last night, I just can't sleep. I'm really annoyed of my own thoughts because of the series of incident that happened & I witnessed.


It started with the incident of my community that I really cherished. They had opportunity to work with business person and at the end of the day it turned out the business person was not really appreciating of the craft of my community. How could a person who tell everyone that they are empowering women turned out they are just exploiting and even not paying for the hard work of the craft itself? It blew my mind away. The second is what I witnessed from the Twitter fiasco between one of controversial influencer in Indonesia called out by creative person about her attitude of violating copyright by using another creative or artists' picture in her posts. It became a real catastrophe when the creative person captured the chat between them where the influencer bullying & oppressing her by threatening to bring out lawyer, suing etc. What's truly sickening was the influencer rejected and not admitting about her threatening attitude. While at the recent time she's like advocating the act of "empowering" women and not compared one woman to another. What the...

The third is when I saw this post from Michelle Elman (@scarrednotscared). She is talking about how women should be more confident about her wage. Women should be confident of her qualities and not underestimating her value. Women deserved to be paid equally or even more for her hard works.

The saddest thing about the first & second story above were all the parties are women. Do women got twisted understanding of "empowering" meaning? You can not "plead that you've empowered women" just by giving them (underpaid) money. You must treat them equally, just and fair. If you can't pay them as good as it should be, just be an honest business person by saying it upfront, make a nice & clear agreement and not using term "empowering" in your marketing package, ads & social media. Duh.

Perhaps we overused the term of empowering itself. It sounds sexy, sophisticated and selling. But the real meaning seems abstract & not really absorbed to be brought into daily behavior. How about make it simple? Just be kind, be honest, just, fair, positive and supportive to each other. I believe none misunderstood these set of characters, right? I believe if you could implement those integrity, then you've already did "empowering" and it would bring confident of people that you supported. By treating people well you humanize them, you bring out the best of them. You let them grow, you let them learn and by that you make them know their real values. And they won't underestimate their-selves like Michelle's statistic.

Be kind. Be just & fair. Be honest. Be positive & be supportive. I beg you, please.

marriage

Convo #5: Tiptoe Through The Tulips

23:40:00


C: Don't you feel afraid?
B: Off course I'm afraid.
C: Don't you feel like "I'm really happy, but I shouldn't happy. Yet. Not now"?
B: Indeed. This will be a long way. 
C: It even hasn't begun. *sigh*


life

Media Sosial: Inferioritas & Menjaga Ego tetap Kenyang

23:00:00

Ditulis pada 9 Mei 2016

Gambar dari sini
Akhir minggu ini kita di Indonesia diganjar dengan libur yang lebih panjang dari pada biasanya. Waktu luang yang jarang didapat itu membuat saya bisa menjelajah media sosial lebih banyak, lebih lama & lebih teliti. Maklum, biasanya hanya dialokasikan untuk Instagram (akun @braavos_knit), Twitter pribadi dan Tokopedia. Eh, yang terakhir bukan medsos sih ya, tapi jualan. Hehe.

Setelah menikmati aliran linimasa, alih-alih merasa terhibur saya merasa rendah diri. Seorang yang saya tahu memuat gambar aurora yang luar biasa indah yang ia lihat di Norwegia, kawan SMA berfoto dengan kawan-kawannya usai pesta lengkap dengan limusin & latar belakang jalan dengan pantulan warna-warni lampu New York. Ada juga yang merajut di kapal layar pribadinya, atau di griya tawang yang disewa khusus untuk liburan kali ini dan tempat-tempat eksotis lain. Pemandangan yang seriously too good to be true ini bertebaran di media sosial saya, atau mungkin kalian juga. Bagian terburuknya adalah, this is real, bukan adegan di film-film. Haha. 

Bukan sih, bagian terburuknya adalah saya iri. Bagian terbaiknya adalah saya tahu & sadar betul bahwa saya sedang iri. I acknowledged myself that I was jealous, and feeling inferior. I didn't deny it, because it helped me to go through the next step, how to heal the jealousy. Karena saya paham apa yang sedang terjadi dalam benak & perasaan saya, maka saya pun mudah menemukan antidot-nya: bersyukur. Itu saja, beres sudah.


Kalau saya amati, sosial media memang jago sekali menyentuh ego manusia. Ia bahkan dapat membuat ego kenyang atau lapar seketika. Puluhan love saat mengunggah foto di Instagram tidak dapat disanggah membuat ingin mengunggah foto lain yang lebih wah, lebih oke, lebih spektakuler agar tidak hanya puluhan, tapi ratusan bahkan ribuan likes yang terpampang di akun saya. Manusiawiiii banget, karena likes itu dianggap sebagai pengakuan, seperti emblem yang berjejer di selempang kepanduan jaman saya masih Pramuka dulu. I did this, I did that. Pertanyaan selanjutnya adalah: mengapa saya melakukan ini? An sich karena pengakuan yang saya dapatkan? Kalau iya, pengakuan siapa?

Saya suka mengunggah foto hasil masakan saya, dipuji banyak orang, dan seterusnya. Tapi saya lebih suka ketika anak + suami saya suka dan makan masakan tersebut dengan lahap. Semakin jauh saya berpikir & bertanya pada diri saya sendiri, semakin saya menemukan bahwa yang paling penting malah bukan emblem/lencana/embel-embel yang terlihat atau tertera dengan jelas, cetha dan bisa dibaca setiap orang. Tinggal bagaimana saya perlu belajar terus, agar bisa semakin mahir memilah yang penting untuk dirasa dan mana yang pantas diabaikan saja.


Sosial media memang seperti titian tali licin yang harus dilewati dengan hati-hati. Mudah sekali tergelincir dan menjadikannya muspro, sia-sia. Buat apa mengikuti/menggunakan sesuatu yang hanya membuat diri ini insecure, rendah diri, iri dan perasaan negatif lainnya. Sisi positif sosial media juga bejibun kok. Untuk yang satu ini, mari bersikap pragmatis, mengeksploitasi kebaikannya & tak perlu repot dengan yang tidak baik. =)

lesson

#obrolankasur : Dari Setahun Lalu

20:45:00

Draft tulisan ini tersimpan sejak setahun lalu, saya tuntaskan malam ini. 

Obrolan kasur malam ini: ada kawan yg tulis status tentang haknya sebagai wanita untuk memilih kapan ia "menggunakan" rahimnya. Yang terlintas di kepala saya, andai memang semudah itu. Saat "pengen" hamil ya hamil, terus jadi, lahiran lancar, dst. Kehamilan, kelahiran di mata saya adalah hal yang ghoib, sama seperti kematian. Begitu juga rahim, yang menjadi medium. Memang betul ia dapat terlihat secara fisik, via USG misalnya. Tapi apa betul kita bisa meminta rahim untuk melar sedemikian besar agar tercipta ruang bagi penghuni baru di tubuh kita, saat ini, atau tepat 2 jam lagi. Meski dirangsang obat-obatan, diupayakan bagaimana rupa, tetap ada kemungkinan untuk gagal. Mereka punya otoritas sendiri, yang tak bisa diperintah oleh sekedar akal. Mereka transendens.

Mungkin ini ujian terberat bagi manusia, menghadapi hal yg tak bisa diatur, merasa tak lagi punya kuasa, hak memilih dan kemudian menerima bahwa ia sebenarnya lemah. 
Sungguh, hanya kepadaNya semua kembali.