business

Bootstrapping is Cool!

21:17:00

Dua hari lalu kakak saya,mas Andre @miebutoijo share artikel menarik tentang bagaimana founder dari Tatcha tidak mengambil gajinya selama 9 tahun, menggunakan-memutar dana tersebut untuk mengembangkan Tatcha. Karena ia punya hutang kira-kira 1juta dollar untuk pendidikannya (student loan untuk S1 & S2), ia pernah menjalani 4 side job dalam kurun waktu yg sama untuk melunasi hutang & membiayai bisnisnya.

Iyaaa, Tatcha yg skincare premium ituuuu. Usaha untuk mengatasi masalah dengan resource yg ada ini disebut bootstrapping. Jadi tidak mengandalkan kredit, tidak mengutamakan suntikan investor. Dan saya suuukaaaa sekali prinsip ini. Karena sangat realistis, praktikal & memberi harapan bagi saya yg bukan anak sultan atau orang yg tajir melintir. Persis juga seperti apa kata @garyvee, audit pengeluaranmu, nabung, kerja tambahan untuk mewujudkan mimpimu.

Terus apa hubungannya dengan L'Oreal ini Vin? Di beberapa post yg lalu saya pernah bercerita bahwa saya memiliki riwayat kulit yg tricky, beberapa kali terkena penyakit autoimmune termasuk vitiligo. Perawatan kulit jadi kebutuhan mutlak & harus disisihkan karena, belajar dari pengalaman, kalau tidak dirawat efeknya sering langsung dramatis. Tapi ceritanya bootstrapping, skincare kan Mahal, njur pye? Banyak jalan menuju Roma, kawans. Saya termasuk rajin mengumpulkan poin dari belanja sehari-hari (dulu di Indonesia biasa di Alfamart & Shopback), lumayan bisa subsidi silang untuk skincare. L'Oreal ini harga aslinya £12, sedang diskon 50% jadi £6, dipotong poin senilai £5, jadi cuma bayar £1 atau 18ribu rupiah. Tiap bulan saya menyisihkan £5-10 untuk skincare (90-180ribu rupiah), asal disiplin pasti bisa untuk mencukupi kebutuhan.

Saya berharap semakin banyak orang yg beranggapan nabung itu keren, ngirit demi mimpi itu harus disupport, etc. Feed IG tidak penuh orang pamer barang branded, tapi bercerita & berbagi cara mencapai mimpinya. Semakin banyak yg melakukan pasti bikin semangat & jadi norma baru. Ngirit itu bukan medhit. Bootstrapping is cool, cheapskate is needed. 😉

daily

Tantangan Menjalani Gaya Hidup Zero Waste di UK

17:06:00


Selama dua tahun terakhir, saya belajar untuk mempraktekkan #rumahnolsampah. Mengurangi penggunaan plastik, menggunakan tumbler, mengkompos sampah organik saya, membeli barang "bekas" dan bukan barang baru, dll. Ada satu tantangan untuk praktek #zerowaste di sini yang rasanya ringan sekali dilakukan di Indonesia: belanja harian atau groceries. Kalau di Indonesia, pasar itu dekat & banyak, sama penjualnya pun mudah, tinggal mau "ngeyel" atau tidak untuk menghindari plastik sekali pakai. Apalagi kalau sudah punya penjual langganan, malah lebih gampang lagi untuk bertransaksi tanpa plastik/menggunakan plastik yang saya bawa sendiri. Area sebesar desa Bluru Kidul, Sidoarjo tempat saya tinggal dulu saja punya 2 pasar. Sedangkan di Leeds, pasar "tradisional" itu cuma ada di pusat kota. Terus kalau warga sini mau belanja harian di mana? Supermarket. Di mana-mana ada kalau ini. Barang yang dibutuhkan memang semuanya ada sih di supermarket. Tapi ya namanya supermarket, kemasannya plastik & kebanyakan kemasan bahan makanan sehari-hari itu tidak dapat di-recycle. Cuma beberapa barang saja yang bisa dibeli tanpa kemasan.


Minggu lalu saya baru menemukan terobosan ini dari Morrison, salah satu supermarket chain yang paling dekat dengan tempat tinggal saya. Too Good to Waste box. Isinya macam-macam bahan makanan yang bisa diolah meski lewat dari tanggal anjuran penggunaan. Iya, jadi di UK itu di tiap-tiap kemasan bahan makanan ada tanggal anjuran penggunaan atau "use by dd/mm/yyyy". Tapi faktanya, banyak bahan yang meski sudah lewat tanggal itu masih bagus & layak konsumsi. Dalam kotak ini ada macam-macam bahan makanan yang acak isinya, hanya dipastikan berat totalnya minimal 1kg. Harga box ini 1 pound atau 18ribu rupiah. Kalau dibandingkan harga normal, sudah pasti ini murah banget. Dan yang paling penting, tidak membuang serta menyia-nyiakan makanan. 


Semoga semakin banyak terobosan yang dilakukan supermarket UK, untuk mengatasi konsumsi plastik yang masif & sulit dihindari ini.

lesson

Hanya PadaMu Aku Bersandar

04:44:00

Kadang "settingan" Gusti Allah itu hanya tepat untuk diterima, tanpa perlu dinalar, tanpa perlu dipertanyakan. Selasa lalu saya berangkat ke Birmingham. Perjalanan yang sudah direncanakan jauh hari, tiket & cuti sudah dipersiapkan. Di tengah perjalanan saya mendapat telpon, ada penghuni gedung tempat saya bekerja, meninggal dunia. Ketika pulang dan bekerja kembali, di tiap shift banyak sekali yang bertanya, apa yang terjadi, apa sebab & bagaimana bisa terjadi. Saya tidak tahu, dan kadang dalam posisi ketidak tahuan itu terasa menyesakkan. Rumor beredar, bahwa penghuni tersebut mengakhiri hidupnya sendiri. Tidak seperti di Indonesia, di sini jika polisi serta pihak berwajib yang terkait sudah memberi batas, ia meninggal maka itu saja yg perlu dan patut anda tahu.

Setelah memastikan identitas penghuni yang meninggal (bangunan ini cukup besar, meski sudah bekerja 3 bulan, saya tidak mungkin hafal semua orang), mau tak mau ada penyesalan tumbuh. Pertemuan terakhir saya dengannya ketika di atas bus seusai menjemput Hayu pulang sekolah. Matanya terpaku di layar gawai. Saya turun dulu, kemudian heran karena ia tak ikut turun. Andai saja saat itu saya menepuk pundaknya, jika saja... Kalimat ini terngiang terus menerus di kepala saya. Lalu ketika kemarin saya membaca berita bintang K-Pop, Goo Hara ditemukan meninggal, dengan dugaan bunuh diri, runtuh juga akhirnya air mata. Mengapa (harus begitu)? Kesakitan seperti apa yg ia rasakan hingga memilih jalan tersebut? Mengapa manusia bisa sangat jahat terhadap sesamanya?

Pagi itu saya menyampaikan kepada atasan, apa saja yang ada di benak saya, apakah ada yang bisa lakukan. Setelah itu rasanya sangat lega. Beban di pundak ini terangkat seketika. Beruntung di tempat saya bekerja ada wellbeingness officer, atau yang bertanggung jawab dalam dukungan mental. Ia tak hanya mendukung pelajar (yang merupakan klien kami) tapi juga karyawan. Ia memastikan & meyakinkan saya bahwa perasaan berat yang saya alami adalah wajar dan saya tidak harus menjalani semua ini sendirian. Atasan dan pihak universitas siap bertindak agar rumor dan kegelisahan di antara para penghuni dapat mereda.

Seusai itu saya sandarkan semuanya padaNya. Ia pun sudah menata semua dengan sempurna. Tiga minggu ini saya menjalani kerja tambahan di kantor pusat, jadi jadwal padat merayap. Fokus saya hanya pada memastikan selalu ada makanan yang siap disantap di rumah, bergantian dengan suami untuk antar jemput Hayu tepat waktu, juga bekerja dengan baik & tak terlambat. Pulang ke rumah saja rasanya sangat bahagia, karena mengarungi cuaca yang muram di luar sudah cukup menantang. Tidur tak lebih dari pukul setengah sebelas malam, agar stamina tetap terjaga. Betul-betul Allah Maha Baik, skenario ini jadi pelajaran untuk menerima & melepaskan diri ini sebagai makhluk. Menerima kapasitas diri ini dan tak memaksakan kehendak.

Dari sini muncul ketenangan, kejernihan berpikir. Kawan sepekerjaan kaget sekali ketika mengetahui saya masuk ke kamar mendiang untuk mengecek beberapa hal atas arahan atasan. Ia bertanya, apa kamu tidak takut? Ia merasa takut karena kesimpangsiuran penyebab kematian gadis ini. Saya hanya menjawab, apapun penyebab kematiannya ada beberapa hal yang memang harus dilakukan, maka saya lakukan saja. Jujur sempat terasa takut, atau lebih tepatnya tak nyaman. Tapi kemudian saya tersenyum sendiri, mengingat bagaimana ketika Bapak saya meninggal justru hal yang saya lakukan adalah berlama-lama berada di kamar beliau. Jika saya bisa melakukan hal itu, maka mengapa saya tidak mampu untuk sekadar masuk & melaksanakan tugas saya.

Sungguh, Allah adalah sebaik-baik pembuat rencana.

thoughts

Sick of (Overused) Empowering Word

03:58:00


Have I told you that my life is like a "season"? Like every time it has the theme, with its own ambiance and aura. So last night, I just can't sleep. I'm really annoyed of my own thoughts because of the series of incident that happened & I witnessed.


It started with the incident of my community that I really cherished. They had opportunity to work with business person and at the end of the day it turned out the business person was not really appreciating of the craft of my community. How could a person who tell everyone that they are empowering women turned out they are just exploiting and even not paying for the hard work of the craft itself? It blew my mind away. The second is what I witnessed from the Twitter fiasco between one of controversial influencer in Indonesia called out by creative person about her attitude of violating copyright by using another creative or artists' picture in her posts. It became a real catastrophe when the creative person captured the chat between them where the influencer bullying & oppressing her by threatening to bring out lawyer, suing etc. What's truly sickening was the influencer rejected and not admitting about her threatening attitude. While at the recent time she's like advocating the act of "empowering" women and not compared one woman to another. What the...

The third is when I saw this post from Michelle Elman (@scarrednotscared). She is talking about how women should be more confident about her wage. Women should be confident of her qualities and not underestimating her value. Women deserved to be paid equally or even more for her hard works.

The saddest thing about the first & second story above were all the parties are women. Do women got twisted understanding of "empowering" meaning? You can not "plead that you've empowered women" just by giving them (underpaid) money. You must treat them equally, just and fair. If you can't pay them as good as it should be, just be an honest business person by saying it upfront, make a nice & clear agreement and not using term "empowering" in your marketing package, ads & social media. Duh.

Perhaps we overused the term of empowering itself. It sounds sexy, sophisticated and selling. But the real meaning seems abstract & not really absorbed to be brought into daily behavior. How about make it simple? Just be kind, be honest, just, fair, positive and supportive to each other. I believe none misunderstood these set of characters, right? I believe if you could implement those integrity, then you've already did "empowering" and it would bring confident of people that you supported. By treating people well you humanize them, you bring out the best of them. You let them grow, you let them learn and by that you make them know their real values. And they won't underestimate their-selves like Michelle's statistic.

Be kind. Be just & fair. Be honest. Be positive & be supportive. I beg you, please.

family

Cerita di Balik Podcast VIP Talks

04:16:00

Saya bikin podcast loh. Haha. Iya, saya baru saja meluncurkan podcast bersama kawan saya mbak Cahya Haniva berjudul VIP Talks (Vinka Iphip Pillow Talks). Kami berdua alumni jurusan Komunikasi FISIP di Universitas Airlangga sekaligus UKM Sinematografi UA. Sekarang mbak Iphip (panggilan akrabnya) sedang mengambil master Family Studies di University of Minnesota. Sejak dulu sebenarnya kami sudah sering berdiskusi tentang perempuan, pernikahan, relationship. Selang waktu berjalan, saya berpikir bahwa hal-hal yang kami bahas ini sebenarnya bisa bermanfaat juga untuk orang lain di luar sana. Dari situlah saya "meminang" Iphip untuk membuat podcast bersama.

Tapi, sejujurnya, saya punya cerita lain. Sorry, Phip, just tell you this in this medium, I hope you wouldn't mind. Hehe. Tepat sebelum menikah saya bekerja di restoran sebagai asisten supervisor. Di suatu hari sahabat karib saya yang berdomisili di Jakarta pulang ke Surabaya dan ia setuju untuk mampir di resto untuk berjumpa. Ia sudah berkeluarga, tetapi ketika hari itu ia datang sendirian. Saya heran, karena saya juga rindu ingin bertemu istri & anaknya. Setelah ia memesan makanan & minuman, kami pun mengobrol hingga saya menanyakan mengapa ia hanya datang sendiri. "Iya, jadi gini Von, sekarang aku & *xxxx* sudah nggak bareng lagi. Kami memutuskan berpisah." Perumpamaan bagai petir menyambar di siang bolong rasanya paling tepat untuk menggambarkan perasaan saya saat itu. I hold them dear in my heart, and the sentence simply crashed me. Saya sungguh kaget dan secara otomatis bertanya bagaimana itu bisa terjadi, mengapa tidak pernah bercerita agar saya bisa membantu dan pertanyaan "polos" lainnya. Saya menangis sejadinya, perasaan saya campur aduk. Anak buah saya waiter & waitress semua bingung melihat saya. Kejadian ini membuat saya mempertanyakan ulang kepada diri saya sendiri, apa pentingnya pernikahan, untuk apa saya menikah dan apa betul saya perlu menikah (dengan pernikahan yang sudah direncanakan beberapa bulan berikutnya). Bahkan setelahnya menjadi diskusi yang luar biasa panjang bagi saya dan mas Rendy, apa yang harus kami persiapkan, apa yang harus kami lakukan & bagaimana pernikahan kami diperjuangkan nantinya.

Topik pernikahan sering kali dibahas dengan polarisasi. Media mengemas pernikahan dengan sangat romantis, indah, penuh dengan kebahagiaan. Tapi di kutub yang lain menggambarkan histeria ketakutan atas perceraian, misal seperti coverage pemberitaan perceraian selebriti yang berlebih, nilai-nilai negatif yang disematkan pada "kegagalan pernikahan". Ada area abu-abu pernikahan yang jarang dikupas dengan wajar, secukupnya dan analitis di media massa. Padahal area abu-abu inilah yang paling banyak terjadi dalam pernikahan itu sendiri. 

Penempatan pernikahan dalam budaya juga turut punya andil. Budaya Timur menempatkan pernikahan sebagai ikatan yang sakral. Karenanya, it put marriage in pedestal. Diletakkan di panggung tertinggi penuh puja-puji. Sebagai sebuah pencapaian jika sudah menikah. Menjadi ada yang salah jika belum menikah. "Pengalaman buruk" yang terjadi dalam pernikahan kemudian ditutupi agar ia tetap sakral. Menyebutkan hal yang kurang cocok dalam pernikahan menjadi tabu. Bukankah dikotomi seperti ini tidak produktif & tidak solutif? 

Saya ingin berbagi pengalaman & pengetahuan atas pernikahan sewajarnya & sejujurnya. Bahwa pernikahan itu fluktuatif, sama seperti hidup atau pasar saham. Dimana pertanyaan dapat diajukan dengan gamblang dan tak perlu takut akan penghakiman. Bagaimana mungkin sebuah ikatan seserius ini, yang dijamin haknya oleh negara, memiliki simpul teka-teki tanya yang jawabannya sering kali bikin keki. "Ah, nanti kalau jodohnya datang juga pasti tahu..." "Nanti kalau sudah menikah pasti tahu rasanya..."

Saya membayangkan pernikahan (serta keluarga yang dibentuk) adalah tempat & wadah yang nyaman untuk siapa saja bertumbuh. Tentu untuk mewujudkannya butuh usaha. Dan jika podcast ini dapat membantu satu orang saja yang sedang berusaha memahami pernikahan, I'm paid off

I can't save my best friend marriage and it's okay. It's not my responsibility. Both of them are adults who have authority of their own life. Tapi saya bisa mencoba untuk membuat ruang yang aman untuk membantu orang lain mengetahui pernikahan, keluarga & perempuan dan mengambil manfaat untuk dirinya sendiri. 

Episode pertama podcast kami berjudul "Is he the one? Panduan Tak Wajib untuk Mempertimbangkan Calon Pasangan Seumur Hidup". Saya & mbak Iphip membahas bagaimana menentukan seseorang sebagai partner dalam pernikahan. Silakan klik di sini untuk mendengarkan. Jika ada uneg-uneg, kritik, saran atau apapun, I'm all ears. Langsung email di vinkamaharani@gmail.com ya. Enjoy!

lesson

Saya & Vitiligo

00:32:00



"Comfortable in your own skin" adalah kalimat yg realisasinya butuh perjalanan panjang bagi saya. Tumbuh dengan vitiligo sejak SD membuat saya selalu merasa "ada yg salah" & "ada yg kurang" dari diri ini. Meski bisa disebut "beruntung" karena vitiligo saya berada di kaki & bukan di area yg banyak terekspos tapi ya tetap saja "Vinka panu-an" & olok-olok sejenis mampir di telinga. I camouflaged my insecurities with arrogancy (Panuan ngene tapi ga bodo koyok awakmu 😀).
⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Secara genetik, kulit saya persis seperti keluarga dari Ibu, mudah muncul flek hitam, tahi lalat dan semakin menua spot hitam itu semakin melebar, beberapa akan menjadi seperti tompel. Saat SMA, mungkin karena hormon dan belum tahu bagaimana merawat kulit, flek, milia, tahi lalat berlebih pun panen. Yg konyol adalah pengalaman "di-ospek" karena dinilai "aneh" pakai gambar tahi lalat dibentuk pola seperti bindi-nya orang India. Info ini saya dapat dari senior yg keceplosan "Lho Vin itu tahi lalat beneran? Padahal dulu kamu masuk list PENA karena dikira dandan pake bikin gambar tahi lalat itu." #eaaa⁣⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

⁣⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kalau ada yg bisa diambil pelajaran dari urusan kulit yg rumit & tak henti-henti ini adalah konsistensi & kegigihan selalu terbayar lunas. Tahun kemarin saya kena penyakit autoimun lagi yg membuat kulit di beberapa bagian sangat kering, gatal & patchy. It takes months to be solved, but it's done. Pengobatan vitiligo berlangsung selama kelas 3 sampai akhir SD. My parents are the truly champion, mengantarkan ke dokter sampe larut malam, nunggu obat diracik, dilakukan bertahun-tahun & tak lupa menyuntikkan rasa percaya diri kepada saya. Kadang saya pun sempat lupa mengoleskan salep & minum obat. But I won't blame myself just for a day or two skipping the medicine/skincare for now. Slow & steady wins the race.⁣⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⁣⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Shout out of love to all family who lives with vitiligo or other skin related disease. Cheer up!⁣

journey

Mengurus Visa UK Tier 4 Student (General), Dependant Partner & Child 2019

17:11:00

Saya mengurus visa Tier 4 suami sekaligus saya dan anak di pertengahan April & Mei 2019. Ada berbagai tipe dari visa Tier 4, untuk suami adalah Tier 4 Student-General (karena sebagai pelajar). Untuk saya tipe visanya adalah Tier 4 Dependant Partner, sedangkan untuk Hayu adalah Tier 4 Dependant Child. Sebelumnya saya membaca beberapa “tutorial” atau sharing pengalaman yang sudah-sudah dari blog-blog di bawah ini:

UK Tier 4 (General) Student Visa by PPI Leeds

Tips Anti Gagal - Membuat VISA UK Tipe Tier 4 (General) Dependant Partner by Gustina Buchu

Mengurus Visa Student (Dependant) UK by Annisa Wibi

Ada perbedaan mendasar antara ulasan blog di atas dengan yang saya alami, yaitu karena per 8 April 2019 situs dan sistem yang digunakan untuk mendaftar visa berbeda. Perbedaan sistem yang paling mencolok adalah jika dahulu aplikasi keluarga/dependant dimasukkan bersama-sama (pengisian formnya), sekarang dilakukan secara individual. Kemudian besar bilangan untuk asuransi kesehatan per orang naik 100% dibandingkan periode sebelumnya (sebelum 8 April 2019). Untuk lebih lengkapnya saya rinci di bawah ya.

Langkah pertama yang kami lakukan dulu adalah riset, apa saja syarat-syarat yang diperlukan untuk apply visa Tier 4. Kalau saya merinci dalam bagan di bawah ini untuk lebih mudah checklistnya. 


No
Dokumen
Biaya
Skala Prioritas
1
Dokumen akademis
(LoA, CAS, University confirmation for family)
LoG dari pemberi beasiswa
0
1
2
Dokumen Keimigrasian
Paspor
Terjemah dokumen
Visa Application
Health Insurance
Biometric
Deposit
Tes TBC

IDR 355.000 (x3)
IDR 60.000 (x6)
GBP 348 (x3)
USD 1428 (x3)
USD 55 (x3)
GBP 470x9 bulan (x2)
USD 80 (x2) + USD 40 (x1)

2
5
5
3
6
2
5
3
Tempat tinggal
Unipol Flat for Family
Deposit Fee
2x Monthly Rent


GBP 420
GBP 628 x 2 bulan


4
4

Dari tabel di atas, teman-teman bisa membaca bahwa prioritas kami setelah paspor  dan dokumen akademis adalah untuk memenuhi biaya yang paling besar dulu, hehe. Untuk paspor jelas karena paspor adalah identitas utama untuk mengurus hal-hal lain di luar negeri atau keimigrasian. 

Baik, mari kita bedah satu persatu ya. Untuk dokumen akademis yang perlu diurus dengan Universitas tempat kalian mendaftar (main applicant/pendaftar utama) adalah LoA (Letter of Acceptance), CAS, Surat konfirmasi/pernyataan dari Universitas bahwa mengijinkan keluarga untuk ikut. Dokumen ini karena bersifat tergantung dengan bagian administrasi Universitas, jadi ada baiknya diurus terlebih dahulu. Karena kita tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan. Biasanya dokumen akademis ini saling dibutuhkan dengan penyedia dokumen penting lainnya. Misal, untuk mendapatkan Letter of Acceptance maka harus sudah mendapatkan persetujuan supervisor untuk membimbing disertasi (sesuai pengalaman kami, ini untuk tingkat PhD). Kemudian setelah mendapatkan LoA, surat ini bisa diajukan ke pemberi beasiswa untuk mendapatkan LoG, dan seterusnya. Konfirmasikan betul kepada pihak administrasi kampus & pemberi beasiswa masing-masing agar dapat menentukan alur prioritas, surat mana yang harus dipenuhi persyaratannya terlebih dahulu.

Deposit di poin nomor 2 adalah sejumlah uang yang harus ada di dalam rekening pendaftar/pendaftar utama ketika mendaftar visa, untuk menjamin biaya hidup dependant selama di Inggris. Jumlahnya berbeda untuk London atau di luar London. Leeds ada di luar London jadi jumlah yang harus dipenuhi adalah GBP 695 (biaya hidup minimal per bulan per individu) dikali 9 bulan (jumlah maksimal deposit untuk yang akan tinggal lebih dari 1 tahun, untuk kurang dari 1 tahun dikalikan 3 bulan saja). Untuk penerima beasiswa LPDP terdapat Family Allowance yang tertera di dalam LoG (Letter of Guarantee) sebesar 25% dari Living Allowance (GBP 1050) yang berarti sebesar GBP 255. Itulah sebabnya dalam tabel saya tuliskan GBP 470, karena itu jumlah yang tidak ditanggung oleh pemberi beasiswa (LPDP). Jadi total deposit yang harus berada dalam rekening utama adalah GBP 470 x 9 bulan x 2 orang (saya & Hayu). Mengapa Pak Rendy tidak harus ada deposit? Karena telah dijamin Living Allowance oleh LPDP dan jumlahnya sudah melebihi dari standar biaya hidup di Leeds.

Jumlah deposit ini adalah pos pengeluaran biaya terbesar. Mengikuti tips “pendahulu” yang lain, deposit ini bisa juga dicapai dengan pinjaman, ke keluarga misalnya, ketika sudah sampai di UK bisa langsung dikembalikan. Tips lain untuk screening keuangan ini adalah dengan mengumpulkan semua “harta kekayaan” di satu rekening saja dari pasangan suami istri, dalam hal ini kami menyatukan di rekening pak Rendy. Tips berikutnya adalah meski record rekening tabungan yang diminta adalah 28 hari terakhir dari pengajuan visa, tapi ada baiknya dana untuk deposit mulai dimasukkan bertahap dari 2-3 bulan sebelum mendaftar visa. Hal ini bertujuan agar tidak melonjak drastis di sebulan terakhir dan bisa menimbulkan pertanyaan di keimigrasian (dari mana dana tersebut berasal, apakah uang itu bisa digunakan oleh pendaftar visa, dst).

Lanjut di prioritas 3 di tabel kami yaitu Health Insurance. Mulai dari setahun sebelumnya kami sudah browse persyaratan apa saja dan biaya sebesar apa yang harus disiapkan. Seperti saya ungkapkan di atas, kenaikan biaya asuransi kesehatan 100% per 8 April 2019 (kira-kira 2 minggu sebelum kami mengajukan visa) ini bikin “panas” otak saya dan pak suami. Campur mbribik juga karena selisih 20juta yang seharusnya jadi “bantal pengaman” kami ketika tinggal di Leeds harus direlakan agar dapat membayar Health Insurance saya dan Hayu. Jumlah USD 1428 per orang itu muncul dari pengisian form di link ini, yaitu untuk asuransi kesehatan selama 3 tahun kami tinggal. Kalian bisa mengisi sesuai dengan rencana lama tinggal di UK dan keterangan dasar lainnya.

Prioritas 4 bagi kami adalah tempat tinggal (awal) bagi kami. Sebelumnya kami sudah melakukan riset untuk menyewa apartemen/rumah secara mandiri. Ternyata untuk menyewa mensyaratkan kami untuk melihat langsung (viewing) kemudian memiliki riwayat tinggal/sewa sebelumnya atau memiliki penjamin yang merupakan warga negara UK (guarantor). Dari proses viewing hingga deal antara penyewa dan landlord bisa memakan waktu beberapa hari. Jika kami tinggal di hotel dulu tentu menguras kantong, begitupun dengan B&B masih sangat besar biayanya. Akhirnya kami berusaha untuk menghubungi Unipol, penyedia akomodasi yang dimiliki oleh kampus University of Leeds. Biasanya antrean untuk mendapatkan flat di Unipol cukup panjang, tapi Alhamdulillah hanya dalam waktu 2 minggu kami sudah bisa mendapatkan unit di sini. Jika dibandingkan dengan harga sewa property di Leeds, harga di Unipol cukup tinggi. Tapi banyak kemudahan-kemudahan dalam “seal the deal” seperti uang deposit fee yang bisa ditransfer dulu, kemudian tidak butuh guarantor atau riwayat sewa sebelumnya. Rata-rata universitas di sini memiliki akomodasi masing-masing, bisa ditanyakan terlebih dahulu karena proses sewa yang pasti lebih mudah dibandingkan menyewa mandiri. Hal ini penting agar kalian tidak bingung untuk tinggal di mana ketika sampai di UK. Oh ya, di tabel tertera kalau kami harus membayar 2x sewa bulanan. Ini persyaratan tentatif, jadi tiap penyedia akomodasi pasti punya persyaratan masing-masing. Sila dicek dan ditanyakan dengan detil agar tidak ada biaya yang terlewat untuk disiapkan.

Prioritas berikut adalah “gong-nya”, pendaftaran visa. Inilah perjuangan sebenarnya karena di sini nasib kami bisa tinggal bersama untuk 3 tahun berikutnya ditentukan. Kalau teman-teman melihat lagi di tabel, ada 2 hal lain yang saya tulis dengan nomer prioritas yang sama yaitu terjemah dokumen dan tes TBC. Dokumen yang perlu diterjemahkan ini adalah dokumen legal persyaratan yang belum ada terjemah bahasa Inggris di dalamnya, seperti: Surat Nikah, Kartu Keluarga, Akte Kelahiran. Terjemahan harus melalui penerjemah tersumpah dimana hasilnya adalah hasil terjemahan dengan kop surat & tanda tangan dari penerjemah. Terdapat list penerjemah mana saja yang diakui oleh UKVI dan dapat kalian lihat di sini. Untuk tes TBC yang diakui oleh UKVI adalah cabang RS Premier yang dikelola oleh Ramsay Healthcare Management. Untuk tes TBC ini hanya memiliki waktu berlaku 6 bulan saja, jadi sila diperhitungkan dengan baik jarak waktu antara tes TBC dan applying visa. Biayanya berbeda untuk orang dewasa & anak-anak karena untuk anak tidak diperlukan X-ray. Biayanya juga fluktuatif tergantung kurs, jadi lebih baik langsung telpon ke masing-masing RS berapa besarannya yang terkini.

Ketika mendaftar visa via online, seperti saya kemukakan di awal post, bahwa pengisian form untuk main applicant & dependant dilakukan secara individual atau terpisah. Saran kami adalah main applicant dulu yang didaftarkan, karena dari situ akan mendapatkan GWF number, semacam nomor registrasi, yang nanti akan diminta ketika mendaftar visa untuk dependant. Kalian tidak harus menyelesaikan seluruh form dalam sekali waktu, jadi bisa disimpan dan dilanjutkan kemudian. Untuk mengecek apakah kalian eligible atau layak mendaftar visa, ada juga semacam tes singkat untuk mengetahui visa tipe apa yang berlaku untuk kalian, bisa langsung klik di sini. Untuk mengecek berapa biaya visa kalian (berbeda tergantung tipe visa yang kalian apply) bisa klik di sini. Sedangkan untuk mendaftar visa, kalian bisa klik di sini.

Setelah form visa komplit dan submitted, kalian akan mendapatkan email otomatis dari UKVI yang menyatakan pembayaran & pendaftaran formulir visa kalian telah diterima. Setelah itu akan ada poin-poin yang harus dipenuhi yaitu tes TBC, mengatur tanggal untuk perekaman data biometri (Biometric ) sekaligus penyerahan/scan dokumen. Hasil tes TBC nanti adalah salah satu dokumen yang wajib diserahkan saat rekam biometri.  Setelah tanggal perekaman biometri diatur, kalian akan mendapatkan email resmi undangan untuk perjanjian rekam biometri. Jamnya spesifik & ketat ya, jadi usahakan datang 15-30 menit sebelum jam yang tertera. Oh iya, ada tawaran layanan SMS untuk progress visa sebesar 30ribu rupiah di web VFS (ketika teman-teman daftar appointment). Saya dan suami mendaftar & membayar untuk layanan ini, tapi tidak pernah mendapatkan SMS. Jadi teman-teman sebaiknya skip saja.

Kalau teman-teman memperhatikan tabel di atas, untuk poin biometri saya menuliskan biaya sebesar USD 55. Hal ini dikarenakan saya & keluarga berdomisili di Sidoarjo, maka kami memilih tempat rekam biometri di Surabaya (kantor VFS cabang Surabaya). Jika di Jakarta, kalian tidak dikenakan biaya ini. Di Indonesia sendiri terdapat 3 tempat rekam biometri yang bisa dipilih yaitu Jakarta, Surabaya dan Bali.
Oh ya, ada celah keuntungan dalam perubahan sistem pendaftaran baru yang dilakukan secara individual ini yang kami manfaatkan yaitu “memutar uang”. Jadi setelah visa pak Rendy disetujui, kami segera mengajukan reimburse ke LPDP, baru kemudian digunakan untuk membayar & mendaftar visa untuk saya & Hayu. Jika lancar, sebenarnya proses visa tidak makan waktu lama, standarnya 15 hari kerja setelah rekam biometri sudah mendapat keputusan. Untuk visa pak Rendy tepat 15 hari kerja setelah rekam biometri, visa sudah sampai di rumah Sidoarjo. Hanya saja untuk saya & Hayu, karena berbarengan dengan libur lebaran & juga peak season untuk liburan wisatawan dari Indonesia maka hasil visa mundur sampai lebih dari 2 minggu (cerita lengkapnya ada di sini).

Semoga penjelasan ini sedikit membantu teman-teman yang tengah menyiapkan pendaftaran visa ya. Jika ada yang ingin ditanyakan, monggo langsung comment saja. Selalu semangat!