*setelah nonton My Name is Khan, terinspirasi dari cara ia mempelajari apa itu bercinta.
What do u like to do in ur leisure time fellas? MMmm, like is not a right phrase. Usual. Used to do. Untuk saia, hal tersebut adalah membaca.
Membaca adalah salah satu “budaya yang paling kuno” yang saia jalani. Saia sudah bisa membaca sejak umur 3,5 tahun. Sejak saat itu, saia mulai membaca apa pun. Papan pengumuman, merk kulkas, name-tag satpam, bungkus jajan, stiker mobil, apa saja. Satu rahasia fellas, kata-kata pertama yang dapat saia baca pertama kali tanpa mengeja adalah 2 kata dalam iklan baris di Koran. SEDOT WC. =D
My momma said that I’m a very good content absorber and ready to splash it anytime. Ketika berada di luar rumah, saia pasti mendongak ke arah langit, mulai menunjuk-nunjuk awan dan melontarkan beberapa terma ilmiah. Ketika mom, kakak atau pengasuh saia menggelengkan kepala tanda tidak paham, saia pun memasang tampang “Where have u been? Don’t u know it?” Kemudian dengan enteng saia berkata, “Haduh, itu loh, kumulonimbus, awan pembawa hujan”. Atau awan sisik ikan, atau awan sapu lidi (yang sekarang saia lupa apa nama ilmiahnya).
Bobo & Mentari adalah majalah anak-anak saat itu. Saia tentu akrab sekali dengan Bona & Rong-Rong, Oki & Nirmala serta cerpen-cerpen karangan Widya Suwarna. Bobo hanya terbit seminggu sekali, tiap hari Kamis. Kamis datang, Minggu habis. Itu pun sudah 3x baca. Saia pun mulai rewel jika bacaan habis. Koran memang ada setiap hari, tapi Koran itu besaaaaarrrr sekali. Sering saia kegulung Koran itu sendiri ketika membacanya. Kedua kakak yang sudah lumayan gede capek juga mendengar saia rewel tiap hari saat bacaan saia habis. Dengan solutifnya mereka memberi saia novel Lima Sekawan. Awalnya saia tidak begitu suka, karena proporsi gambar dan tulisan 1:9. Tapi karena memang tidak ada lagi yang dibaca, saia pun menyerah dan melahap Lima Sekawan pelan-pelan. Kakak saia biasa mengecek saia di saat senggangnya.
MM (Mbak Maya): “Nyampe mana Von bacanya?”Saia (Von): “Nyampe George (dengan pelafalan ge-or-ge) bawa Timmy ke Pulau Kirrin sembunyi-sembunyi”MM : “Itu bacanya bukan ge-or-ge, tapi jos”Von : “Loh, tulisannya lo ge-e ge, o-er or, ge-e ge. Ge-or-ge. Aku bisa baca loh.”MM : “Itu nama Inggris Von. Bacanya juga kayak orang Inggris.”Von : “Inggris itu apa?”
Bla bla bla. Pembicaraan pun semakin meluas.
Saia bersyukur berulangkali terlahir di keluarga yang sangat menyenangi kegiatan membaca ini. Di kos, saia tidak memiliki televisi. Dan itu bukan masalah, karena di rumah pun, tv hanya berfungsi sebagai pengantar tidur, pengantar makan dan saat-saat yang terlalu luang. Di kos, saia memilih untuk membaca buku (atau apa saja) atau menonton film. Untuk berita, bagaimana? I’ve got Twitter in my hand, I’ve got what I need.
Membaca rasanya bukan (dan entah kapan menjadi) budaya di Indonesia. Kalau pun ada yang membaca, tidak benar-benar membaca. Terbukti dari pengalaman jualan kaos, kami telah mencantumkan dengan jelas segala apa yang dibutuhkan untuk order kaos ataupun gantungan kunci di web gathotkacastudio.com. Tetap saja, berpuluh-puluh sms datang dengan pertanyaan klise: harganya berapa? Gimana cara belinya? Saya di kota xxx, bisa dikirim ga? Boleh beli satu? Mbak, format smsnya apa, males nih buka web. Kalau Cuma 1 atau 2 sms, mungkin tidak apa-apa. Lah ini puluhan. Addo do’e, puh-leaseeee.
Membaca (yang benar) itu penting. Tuhan pun sampe ngulang perintah ini sampe beberapa kali buat Nabi tercinta. Untuk membaca ayat-ayat Tuhan aja ada hukumnya, tajwid. Sedih rasanya ketika melihat orang-orang menganggap “membaca” sebagai sesuatu yang kuno, old-school, gak keren, etc. Lebih sedih lagi ketika melihat hal-hal yang tidak tepat, salah kaprah terjadi karena miss hal yang penting dalam membaca. Bingung?
Sama.
Bagaimana kalau begini, jawab pertanyaan ini untuk saia:
Saia selalu heran, mengapa orang-orang dengan rutin mengadakan acara untuk tergesa-gesa menyelesaikan (mengkhatamkan) Qur’an dalam satu hari? Lalu apa gunanya saia belajar tajwid selama ini?
--a“