Saya suka sekali dengan bekal/bontotan/bento/lunchbox. Mengapa? Hmm. Untuk perihal ini saya harus menuliskan sebuah cerita agar alasannya terjabarkan dengan baik.
Mari sejenak kita sisihkan fakta bahwa bekal adalah trik ngirit yang paling efektif (sampai kapan pun). Ini juga bisa jadi sebuah alasan, tapi tidak untuk saya. Tanpa berusaha dramatis, saya ingin mengutip lagu “Glitter in The Air” yang dinyanyikan Pink:
“Have you ever touched so gently, you had to cry (?)”
Saya pernah, dan itu karena bekal.
Tidak lebih dari 2 tahun yang lalu, saya berkunjung ke perpustakaan c2o. Saya memang sering berkunjung ke situ, selain karena bekerja sama titip jual kaos juga karena suasana yang menyenangkan. Saat itu saya sedang bekerja di restoran, dan kesempatan mengunjungi c2o menjadi langka. Hari itu saya beruntung untuk datang di siang bolong, saat mbak Yuli membuka kotak bekalnya.
Mbak Yuli adalah pustakawan yang bekerja di c2o. Ia pribadi yang ramah, mau belajar dan seringkali naïf. Kami selalu bergelak tawa ketika bertemu. Setiap hari, ia membawa bekal untuk makan siang & malam, kecuali ketika malas memasak.
Siang itu, ia membawa kotak bekal yang besar. Terlihat dari sisi kotak yang semi transparan, bongkahan nasi yang berlebih untuk porsi satu orang. Ketika saya spontan menanyakan mengapa, ia menjawab bahwa telah berjanji pada Tinta untuk membawakannya makan siang. Ia juga secara spontan mengajak saya untuk ikut bergabung menikmati bekal tersebut.
Saya awalnya menolak, karena jujur, saya merasa kasihan kepada mbak Yuli. Saya tahu betul tentang pendapatan & apa saja yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan rumah tangganya. Saya berpikir, sudahlah, jangan nyusahin orang susah. Tetapi kemudian, Tinta juga memaksa. Baiklah, monggo dimulai dulu, saya menyusul, ujar saya.
Ketika mendekati mereka, saya baru melihat apa menu di dalam bekal tersebut. Lodeh rebung. Dan nasi. Saya sempat mencari-cari lauk lainnya, yang ternyata tidak ada. Tidak dengan kerupuk atau makanan sampingan apa pun. Saya tidak bisa mundur untuk berkata tidak mau makan, maka saya pun menyuapkan nasi dengan kuah dan rebung secukupnya. Dan saya terdiam sejenak, mengunyah pelan-pelan dan saya sangat terkejut bagaimana mungkin masakan sederhana ini bisa terasa SANGAT ENAK. Lodeh rebung terenak yang pernah saya rasakan. Andai bisa menggambarkan secara komikal pasti saya saat itu mulut saya menganga keheranan dan ada sinar dari langit yang menerangi kerongkongan saya.
Tetapi semua itu tidak terjadi, yang ada hanyalah mata yang mendadak berkaca-kaca. Saya berpura-pura mendesis karena pedas agar tidak terlihat aneh. Di saat yang sama mbak Yuli meminta maaf dengan riang karena hanya bisa memasakkan sayur tanpa lauk, karena tidak membeli lauk saat di pasar. Saya menolak permintaan maafnya, ini sudah lebih dari cukup.
Banyak orang bilang ketika kita makan bersama-sama, rasanya lebih nikmat. Saya tidak tahu apakah rasa nikmat atas lodeh rebung mbak Yuli tersebab proses makan bersama. Saya hanya tahu bahwa pikiran saya terbelah-belah menjadi banyak bagian karenanya. Sebagian besar memikirkan betapa malunya saya, karena telah arogan dengan berpikiran bahwa mbak Yuli adalah orang susah. Saya-lah yang susah. Saya beruntung untuk bisa makan 3 kali dengan memilih apa yang saya ingin makan, tetapi tidak mencoba untuk berbuat lebih atas hal tersebut. Saya malu dengan pemikiran saya saat itu, “I worked then I deserved”. Karena telah bekerja keras siang malam maka saya juga boleh menggunakannya sesuka hati. Saya teringat tumpukan piring warna-warni di depan saya saat menghabiskan waktu di sushi bar, loyang besar pizza & mangkuk pasta, gelas-gelas plastik minuman dengan butir mutiara ubi, stik kentang goreng yang kerap saya tinggal.
Bagian yang lain mengingat bagaimana nenek saya pernah berkata usai memberi makanan pada orang asing, beliau tak pernah menolak orang yang meminta makan dengan harapan agar anak cucunya tidak akan kelaparan di mana pun berada. Dan sebagian terakhir bertanya-tanya, apakah kenikmatan bekal ini berasal dari masakan yang dimasak dengan tulus, dengan niatan kasih sayang dan bukan niat bekerja para tukang masak & koki di restoran(?). Atau karena kelapangan hati mbak Yuli sebagai pemberi(?).
Tidak semua pertanyaan saya terjawab atau memiliki solusi pada akhirnya. Yang saya tahu, sejak saat itu saya sangat menikmati saat makan siang bersama waiter/waitress di tempat makan karyawan, berjongkok makan nasi bungkus di gang sempit antara gedung dan punggung mall, menyeruput santai es teh yang gelasnya beraroma sabun colek warna biru itu. Dan tentu, saya semakin sering membawa bekal dengan jumlah cukup banyak, agar bisa berbagi.
Foto di atas diambil minggu lalu, ketika saya berkunjung di c2o dan makan siang bersama dengan mbak Yuli, putrinya Silvi dan mas Andriew. Bekal yang saya & Mbak Yuli bawa dibagi untuk kami berempat. Rasanya nikmat & sangat menyenangkan. =)
Salam sayang untuk semua pembawa bekal di dunia!