Selama delapan tahun merantau, jauh dari orang tua dalam keseharian membuat saya kesepian dan sedih di saat-saat tertentu. Terutama saat sakit. Beruntung, dalam kurun waktu tersebut saya dipertemukan dengan kawan-kawan yang baik, ditambah orangtua mereka yang sangat baik hati. Saya menyebut orangtua spesial itu dengan Bapak Ibu Peri.
Bapak Ibu Peri ini punya kesamaan: pemurah & penyayang. Pertanyaan yang paling sering mereka tanyakan: Vinka sudah makan? Hari ini sudah makan apa? Dan saya tahu mereka tidak sedang berbasa-basi ketika bertanya seperti itu, karena seringkali setelahnya saya sudah duduk bersama, bersantap & berbincang dengan mereka. Sebagai remaja yang hobi wira-wiri berkegiatan ini itu, perut saya ini bottomless, enggak ada kenyangnya. Tawaran makan siang atau lauk untuk dibawa pulang tentu bagai kejutan surgawi, dikirim oleh peri. Nikmat tiada tara untuk anak kosan.
Tak hanya murah hati, Bapak-Ibu Peri kesemuanya adalah pendengar yang baik. Mereka menghargai cerita saya bahkan sering pula meminta pendapat, masukan dari saya. They're all ears. Saya yang jauh dari ibu-bopo ini haus akan tempat untuk bercerita. Jatah pulsa yang terbatas sering jadi batasan untuk bercerita ini itu, cerita remeh yang penting ditumpahkan saat itu juga dan tak bisa menunggu saat pulang di akhir pekan. Bapak-Ibu Peri pun mengisi ruang kosong ini. Ruang yang di kemudian hari saya pahami betul, betapa pentingnya untuk diisi. Mereka ini yang membuat saya yakin bahwa tanah rantau tak sekejam dari yang terlihat. Masih banyak kebaikan & kehangatan yang tidak dibuat-buat.
Awal bulan ini, saya patah hati. Satu ibu peri saya dipanggil olehNya. Tante Eva namanya. Ia adalah Ibu Peri yang paling sering mendadak menelepon saya. Sekedar tanya sudah makan, atau tanya bagaimana kuliah. Hal yang beberapa kali beliau ungkapkan dulu adalah ingin sekali bikin syukuran untuk merayakan hari lahir saya & anaknya, Sheila, yang kebetulan lahir di hari yang sama. Meski tak pernah terwujud, hati saya sudah terasa hangat karena ada sosok ibu yang peduli untuk merayakan hari ulang tahun saya. Dimana hal tersebut bukan tradisi yang akrab bagi saya.
Saya teramat kecewa & sedih karena kurang keras, mengharuskan diri saya sendiri untuk menjenguk tante Eva saat beliau sakit. Apalagi sebenarnya beliau di Sidoarjo, tempat saya tinggal sekarang. Penyesalan yang sangat besar, hingga saya memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk menebusnya.
Satu hal yang saya pelajari dari Tante Eva, kehangatan & perhatiannya sungguh berkesan bagi saya. Saya adalah seorang ibu sekarang, dan saya harus belajar bagaimana memeluk teman-teman anak saya nantinya, menerima & menghargai bagaimana seutuhnya mereka. Agar tak perlu mereka mencari perhatian di tempat yang tak pantas atau tidak tepat. Agar dunia ini hangat & penuh kasih.
Selamat jalan, Ibu Peri. Engkau tak pernah pergi, hanya pulang ke rumah terindah di surgaNya.