"Comfortable in your own skin" adalah kalimat yg realisasinya butuh perjalanan panjang bagi saya. Tumbuh dengan vitiligo sejak SD membuat saya selalu merasa "ada yg salah" & "ada yg kurang" dari diri ini. Meski bisa disebut "beruntung" karena vitiligo saya berada di kaki & bukan di area yg banyak terekspos tapi ya tetap saja "Vinka panu-an" & olok-olok sejenis mampir di telinga. I camouflaged my insecurities with arrogancy (Panuan ngene tapi ga bodo koyok awakmu 😀).
⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Secara genetik, kulit saya persis seperti keluarga dari Ibu, mudah muncul flek hitam, tahi lalat dan semakin menua spot hitam itu semakin melebar, beberapa akan menjadi seperti tompel. Saat SMA, mungkin karena hormon dan belum tahu bagaimana merawat kulit, flek, milia, tahi lalat berlebih pun panen. Yg konyol adalah pengalaman "di-ospek" karena dinilai "aneh" pakai gambar tahi lalat dibentuk pola seperti bindi-nya orang India. Info ini saya dapat dari senior yg keceplosan "Lho Vin itu tahi lalat beneran? Padahal dulu kamu masuk list PENA karena dikira dandan pake bikin gambar tahi lalat itu." #eaaa⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kalau ada yg bisa diambil pelajaran dari urusan kulit yg rumit & tak henti-henti ini adalah konsistensi & kegigihan selalu terbayar lunas. Tahun kemarin saya kena penyakit autoimun lagi yg membuat kulit di beberapa bagian sangat kering, gatal & patchy. It takes months to be solved, but it's done. Pengobatan vitiligo berlangsung selama kelas 3 sampai akhir SD. My parents are the truly champion, mengantarkan ke dokter sampe larut malam, nunggu obat diracik, dilakukan bertahun-tahun & tak lupa menyuntikkan rasa percaya diri kepada saya. Kadang saya pun sempat lupa mengoleskan salep & minum obat. But I won't blame myself just for a day or two skipping the medicine/skincare for now. Slow & steady wins the race.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Shout out of love to all family who lives with vitiligo or other skin related disease. Cheer up!