Kadang "settingan" Gusti Allah itu hanya tepat untuk diterima, tanpa perlu dinalar, tanpa perlu dipertanyakan. Selasa lalu saya berangkat ke Birmingham. Perjalanan yang sudah direncanakan jauh hari, tiket & cuti sudah dipersiapkan. Di tengah perjalanan saya mendapat telpon, ada penghuni gedung tempat saya bekerja, meninggal dunia. Ketika pulang dan bekerja kembali, di tiap shift banyak sekali yang bertanya, apa yang terjadi, apa sebab & bagaimana bisa terjadi. Saya tidak tahu, dan kadang dalam posisi ketidak tahuan itu terasa menyesakkan. Rumor beredar, bahwa penghuni tersebut mengakhiri hidupnya sendiri. Tidak seperti di Indonesia, di sini jika polisi serta pihak berwajib yang terkait sudah memberi batas, ia meninggal maka itu saja yg perlu dan patut anda tahu.
Setelah memastikan identitas penghuni yang meninggal (bangunan ini cukup besar, meski sudah bekerja 3 bulan, saya tidak mungkin hafal semua orang), mau tak mau ada penyesalan tumbuh. Pertemuan terakhir saya dengannya ketika di atas bus seusai menjemput Hayu pulang sekolah. Matanya terpaku di layar gawai. Saya turun dulu, kemudian heran karena ia tak ikut turun. Andai saja saat itu saya menepuk pundaknya, jika saja... Kalimat ini terngiang terus menerus di kepala saya. Lalu ketika kemarin saya membaca berita bintang K-Pop, Goo Hara ditemukan meninggal, dengan dugaan bunuh diri, runtuh juga akhirnya air mata. Mengapa (harus begitu)? Kesakitan seperti apa yg ia rasakan hingga memilih jalan tersebut? Mengapa manusia bisa sangat jahat terhadap sesamanya?
Pagi itu saya menyampaikan kepada atasan, apa saja yang ada di benak saya, apakah ada yang bisa lakukan. Setelah itu rasanya sangat lega. Beban di pundak ini terangkat seketika. Beruntung di tempat saya bekerja ada wellbeingness officer, atau yang bertanggung jawab dalam dukungan mental. Ia tak hanya mendukung pelajar (yang merupakan klien kami) tapi juga karyawan. Ia memastikan & meyakinkan saya bahwa perasaan berat yang saya alami adalah wajar dan saya tidak harus menjalani semua ini sendirian. Atasan dan pihak universitas siap bertindak agar rumor dan kegelisahan di antara para penghuni dapat mereda.
Seusai itu saya sandarkan semuanya padaNya. Ia pun sudah menata semua dengan sempurna. Tiga minggu ini saya menjalani kerja tambahan di kantor pusat, jadi jadwal padat merayap. Fokus saya hanya pada memastikan selalu ada makanan yang siap disantap di rumah, bergantian dengan suami untuk antar jemput Hayu tepat waktu, juga bekerja dengan baik & tak terlambat. Pulang ke rumah saja rasanya sangat bahagia, karena mengarungi cuaca yang muram di luar sudah cukup menantang. Tidur tak lebih dari pukul setengah sebelas malam, agar stamina tetap terjaga. Betul-betul Allah Maha Baik, skenario ini jadi pelajaran untuk menerima & melepaskan diri ini sebagai makhluk. Menerima kapasitas diri ini dan tak memaksakan kehendak.
Dari sini muncul ketenangan, kejernihan berpikir. Kawan sepekerjaan kaget sekali ketika mengetahui saya masuk ke kamar mendiang untuk mengecek beberapa hal atas arahan atasan. Ia bertanya, apa kamu tidak takut? Ia merasa takut karena kesimpangsiuran penyebab kematian gadis ini. Saya hanya menjawab, apapun penyebab kematiannya ada beberapa hal yang memang harus dilakukan, maka saya lakukan saja. Jujur sempat terasa takut, atau lebih tepatnya tak nyaman. Tapi kemudian saya tersenyum sendiri, mengingat bagaimana ketika Bapak saya meninggal justru hal yang saya lakukan adalah berlama-lama berada di kamar beliau. Jika saya bisa melakukan hal itu, maka mengapa saya tidak mampu untuk sekadar masuk & melaksanakan tugas saya.
Sungguh, Allah adalah sebaik-baik pembuat rencana.