Sehari yang dilewati penuh dengan kegiatan pasti melelahkan. Tapi ketika kegiatan itu bermakna, hmm, waktu jadi terasa berharga, dan hal itu menyenangkan sekali. =)
Seperti layaknya Senin yang biasa, kuliah penuh dari jam 10 pagi sampai setengah 4 sore. Poet, my beloved darlaa would treat me and office fellas for her birthday. My boss(es) just available in 5pm. Sembari menunggu, ngobrol seru sama Mbak @gigihrc tentang buku (yang akhirnya merembet kemana-mana sih, =P). Dia menulis everythings related with books. This is her photos from her blog: http://bacabukubagus.wordpress.com
Untuk penggemar buku-buku karya pengarang asing, hm, this blog obviously will fit to you. Resensinya cukup singkat, karena ia memilih untuk tidak men-spoil para calon pembaca buku tersebut. Oh ya, sebagian besar buku yang diresensi juga ada link e-booknya loh. Jadi ga usah empet nunggu + nabung sekian lama untuk baca karya-karya bagus yang sudah diresensi.
Time passed by, mbak Gigih pun akan berangkat nonton Robin Hood (Good movie, another kind of Hood version. I love this bloody, manly Robin Hood). Saya pun menuju kantor, mau numpang documenting data buat skripsi, sekalian nunggu orang kantor pada ngumpul untuk makan-makan. Senyampang (anyone use this word? Ini padanan kata indonesia baku untuk sembari) mendata, ternyata bang @aldosianturi sedang online. Wah, kesempatan yang oke nih. Saya ingin ngobrol beberapa hal yang udah kepo abis gara-gara Twit kemarin2.
Siapa sih Aldo Sianturi? Dia orang yang pertama kali saya tahu akun twitternya karena penawaran pencantuman nama di album Sore. Iya, Sore yang itu, yang band indie itu, yang lagu-lagunya mantab jaya! Ternyata eh ternyata bang Aldo ini adalah orang yang ada di balik Sore, White Shoes & The Couple Company dan band lain di bawah bendera PURAPURA Records. Bang Aldo sendiri sudah malang melintang di dunia per-label-an sekian lama (berapa lama yak? lupa. hehe), mulai dari Universal Records sampai Aksara Records. Gimana ceritanya kamu bisa ketemu orang ini Vin? Ahaha. Kalo jodoh mah, ga bakal kemana. Hehe.Ini nih ketemu pertama kali..
Ini foto di halaman BlackBird Coffee & Pancake, Jl. Imam Bonjol 125 Surabaya, rekanan Gathotkaca Studio. Sebelah kanan sendiri adalah bang Joseph Sudiro, bassis Vox yang punya BlackBird. Sebelah kirinya itu bang Aldo Sianturi. Selain saya yang nyempil di belakang, mereka-mereka ini pemenang Lomba Photo Mantab Jaya yang kami adakan. Cerita lengkap lomba photo-nya bisa dilihat di sini. Bang Aldo sedang di Surabaya dalam rangka pembicara MarkPlusFestival 2010. Nah, lusanya, bang Aldo bikin sharing session tentang Indiepreneur, yang bisa temen-temen baca di http://aldosianturi.com
*Music Sharing Session di Surabaya, bareng @aldosianturi, @afimotik, @ninilmotik, mas Bambang Morning After, mas MayoVOX*
Kalau teman-teman concern di musik, pengen enlightment di bidang entrepreneurship, atau banyak hal yang berkaitan global-local, central-peripheral topic, blog bang Aldo ini jelas wajib baca. Sip! Pengalamannya jelas jauh lebih kaya dibanding saya, dan hal ini tercermin pada tulisan-tulisannya.
My bosses ready to go after their meeting, dan kami sekantor pun makan-makan di Leko *spesialis iga penyet* (itu tagline-nya loh. hehe). Setumpuk doa buat Poet.... Cup-cup-mwah!
Jikalau anda menyukai film India sejak munculnya Slumdog Millionaire, 3 Idiots, My Name is Khan (saja), maka anda adalah orang-orang yang merugi. Jika anda telah mengenal film India mulai dari Kuch-Kuch Hota Hai, Kabhi Kushi Kabhi Gham, Mann, Hum Dil De Chuke Sanam, Dhoom, Filhaal, Main Hoona maka anda orang yang hidup sewajarnya. Tetapi jika anda telah menonton Chandni Bar, Devdas, Sawaariya, Dostana, Om Shanti Om, Mother India, Nayak, Phir Bi Dil Hai Hindustani, Shakti maka anda termasuk orang-orang yang beruntung. =P
Untuk yang baru melihat 3 judul pertama, jangan tersinggung dengan pernyataan saya di atas. Saya hanya menyayangkan jika anda hanya melihat 3 film itu saja dan menganggapnya luar biasa. Mereka hanya cerminan industri film India secara parsial. Mereka hanya pucuk-pucuk gunung es saja, karena karya yang lebih luar biasa banyak sekali jumlahnya.
Di sini saya tidak ingin berkomentar lebih jauh tentang film India, tetapi ingin merujuk 1 judul film yang baru saja saya tonton yaitu Rann. Film ini sangat menarik untuk teman-teman yang memelajari ilmu Komunikasi khususnya, karena bercerita tentang media (televisi). Tetapi untuk pemerhati politik, media & kawan-kawan yang mengaku humanis, pasti akan tertarik juga.
Film yang dirilis pada 29 Januari 2010 ini menceritakan tentang persaingan keras stasiun televisi berita (news channel) menghadapi gempuran rating stasiun televisi lain yang cenderung hanya menghibur saja. Momentum ini dimanfaatkan dengan baik oleh satu pihak politik yang ingin mengkudeta pemerintahan saat itu. Konspirasi pun dibikin, persaingan meruncing, pembohongan publik besar-besaran dilakukan. Lalu bagaimana kebenaran dapat dipercaya lagi? Adakah ruang untuk kejujuran itu? Tak ada yang peduli. Semua orang terikat kepentingan masing-masing, lari ke berbagai arah untuk cari selamat & keuntungan.
Film ini menggunakan cukup banyak tokoh (untuk menggambarkan kerumitan polemiknya) tetapi sangat fokus dalam penggambaran karakternya. Wajah yang anda kenali mungkin hanya Amitabh Bachan, atau Paresh Rawal sebagai antagonis, tetapi aktor & aktris yang lain cukup mumpuni memerankan karakter masing-masing. Uniknya, pengemasan film ini layaknya film thriller & horror. Suasana film dibangun dengan kelam, warna yang digunakan pun berkisar pada hitam, abu-abu dan biru. Musik latar pun tidak beda seperti saat kita menonton Orphan yang mencekam. Tempo film dijaga sangat pelan dengan beberapa titik aksentuasi untuk menunjukkan bahwa apa yang diceritakan ini adalah persoalan yang rumit, besar dan terjadi dalam jangka waktu yang panjang.
Posisi media sebagai salah satu pilar demokrasi, rasa-rasanya takkan habis diceritakan dalam satu-dua film saja. Di layar lebar India misalnya, paling tidak ada Nayak dan Phir Bhi Dil Hai Hindustani yang menyoroti produksi pertelevisian. Keduanya menyoroti peran penting reporter/jurnalis (dalam Nayak, tokoh utama adalah camera-person) dalam memroduksi berita. Di Indonesia, sitkom Kejar Tayang (Trans TV) turut mengupas hal-hal di balik pertelevisian, dengan cara komedi tentunya. Mungkin yang sejenis adalah serial televisi Dunia tanpa Koma (RCTI, 2006), tetapi dari institusi surat kabar. Rann sendiri lebih kompleks. Ia ingin menceritakan secara holistik tali-temali serta tumpang tindih yang ada dalam dunia pertelevisian.
Menonton & membaca Rann seperti layaknya bercermin bagi saya. India & Indonesia serasa sama saja. Apa-apa yang dihadapi tak jauh beda. Korupsi, politik yang kotor, terorisme, pertikaian beralasan agama, media yang tidak jujur. Kepemilikan media di jaman ini, memiliki kekuatan yang sulit diingkari. Setiap rumah punya televisi, setiap orang (paling tidak) pernah menonton televisi. Dan lebih ironisnya, pemilik-pemilik media di Indonesia malah jelas-jelas memiliki afiliasi politik masing-masing. Doh! *tepok kepala*
Media has their big power impact. Meminjam Lord Acton's dictum, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely", fellas.