Kemarin, tepat 2 minggu Mbah Uti meninggal. Nenekku tercinta.
Beliau ibu ibuku.
Beliau ibu ibuku.
Wanita yang dicintai banyak orang karena kedermawanannya, kebaikan hatinya.
Mbah Uti sosok yang aktif. Di jaman penjajahan Jepang, beliau adalah wakil desa untuk pendidikan ketrampilan.Oleh karena itu beliau pandai menyulam, menjahit, memasak. Jika akan lebaran, seluruh dusun akan berkumpul di dapur mbah Uti, membawa bahan mentah kue-kue dan memasak bersama di situ, karena cuma mbah Uti yang hapal di luar kepala resep-resepnya! =)
Ini foto Mbah Uti favoritku, menunjukkan kalau beliau tidak bisa berhenti beraktivitas. Bahkan di pernikahan ibuku, beliau sendiri yang jadi "stage manager" semuanya. =)
Cerita yang paling menempel dari mbah Uti di kepala saya adalah tentang kepuasan memberi. Sebutlah cerita-cerita yang ada di masyarakat bagaimana kejamnya ibu tiri, maka itu pula yang dialami oleh Mbah Uti. Ayah mbah Uti menikah lagi setelah ibu mbah Uti meninggal. Dari istri pertama, didapat 2 putri, mbah Uti dan mbah Pah. Istri kedua, yang merupakan ibu tiri mbah Uti benar-benar seperti yang digambarkan di dongeng-dongen. Pilih kasih, bermanis mulut ketika ada suami saja, memberi makan anak tirinya tanpa lauk. Mbah Pah benci sekali dengan ibu tirinya. Beliau berjanji untuk tidak memberi apapun kepada ibu tiri ketika sudah menikah dan memiliki materi sendiri. Sebaliknya, Mbah Uti bilang:
"Nggak dik, kalau aku punya duit, bisa makan setiap hari, Mbok (ibu tiri) akan aku beri sebanyak mungkin. Lebih enak memberi kok. Enak di hati."
Sederhana, tapi mengena.
=')
Yaminah Oetomo, I'm proud being your granddaughter.
=*