Kemarin aku menyaksikan tubuh kecil, tak lebih dari separuh badanku, dibaringkan di keranda. Saudari kembarnya membuang muka sambil terus bergelayut pada Ibunya yang berusaha tersenyum pada tiap tamu. Neneknya meraih tanganku cepat, memotong kalimat bela sungkawa yang belum utuh:
"Samean ngerti arek e kan Mbak Vinka? Samean eling kan?
(Kamu tahu bagaimana anak itu kan? Kamu ingat dia kan?"
Apa yang lebih membikin lidah kelu, selain semua itu?
Siang ini aku melihat anak yang menangis mencari ayahnya. Ibunya sedang di-gips, patah di dekat pergelangan tangan. Neneknya, menggendong sambil berkata padaku,
"Ngene iki lho Ka, wis eling arek e
(Begini ini lho Vinka, ia sudah mulai ingat."
Ingat bahwa ia tak akan pernah bisa memeluk ayahnya lagi. Ayah yg ia cintai. Ayah yang harus pergi, bahkan sebelum mengetahui bahwa ia akan menjadi bapak dari 2 anak.
Apa lagi yang membuat ingin segera pikun,
selain rentetan memori yang tak sanggup disimpan?
Selamat jalan Revo, keponakan yg ganteng, mas Romli, kakak yang belum sempat saya kenal lebih dalam. Sampai jumpa lagi.