Yaminah

11:47:00

*ditulis Maret, 2015

Dalam beberapa variety show dan serial Korea yang saya tonton, ada tradisi unik saat seseorang berulang tahun. Bukan hanya ia yang berhak mendapatkan kado atau hadiah atas pergantian umur itu, tetapi juga ibunya. Sang ibu dianggap berhak mendapatkan hadiah, karena berkat ibu ia dapat tumbuh menjadi sosok yang sekarang ini.

Saya kurang tahu, apakah jabaran singkat di atas betul-betul sebuah tradisi atau hanya pemanis dalam acara televisi saja. Yang pasti, bulan ini ibu saya berulang tahun, dan saya ingin berterima kasih pada ibu beliau: nenekku.

Nenekku bernama Yaminah, wanita berperawakan mungil yang selalu saya ingat sebagai koki ulung, pemilik pipi yang selalu wangi dengan bedak Fanbo. Kadang berganti Viva Face Powder yang berkemasan zac. Saya selalu rindu mencium pipi itu, sampai sekarang tentunya.

Sehari-hari beliau selalu memakai kebaya dan kain jarik yang serasi. Keduanya ditata dengan rapi di lemari. Kain yang diberi oleh anak-anaknya hampir di tiap hari raya selalu digolong-golongkan dengan tingkat keapikannya. Yang sudah sedikit amoh dipakai sehari-hari, yang masih bagus dipakai di momen spesial. Kedatangan cucunya termasuk yang terakhir. Tidakkah saya selalu tersanjung atas hal ini?

Dibesarkan oleh ibu tiri, Yaminah dan kakak perempuannya seperti hidup dalam dongeng. Ibu tiri yang tidak memberi cukup makan, dan hal-hal menyedihkan ala Upik Abu dalam versi nyata. Sang kakak sedih bukan kepalang, mengajak Yaminah untuk bertekad membalas ibu tiri di kemudian hari. Kakak ingin menjadi kaya raya dan berganti menindas ibu tiri, biar tahu rasa. Yaminah menolak, ia memilih untuk berbuat baik sebaik-baiknya, agar di suatu hari nanti si ibu malah malu bukan kepalang karena telah berbuat buruk kepadanya. Kira-kira seperti ucapan Diana Rikasari puluhan tahun kemudian: If people hate you, Love them back. Malang tak dapat ditolak, perbincangan saudara kala kecil itu pun menjadi kenyataan. Sang kakak betul-betul menjadi kaya raya, dan Yaminah mendapat rasa malu dan hormat ibu tirinya.

Yaminah muda adalah perempuan yang terampil. Di jaman pendudukan Jepang, pemerintahnya secara terorganisir memberikan pelatihan sampai ke desa-desa untuk keterampilan dasar dan produksi untuk wanita, seperti memasak, merajut, menjahit, menyulam. Yaminah salah satu yang mengenyam pelatihan ini. Beliau dapat mengolah kapas dan memintalnya jadi benang, sampai merajutnya. Tepian-tepian taplak meja di rumah Yaminah selalu dihiasi sulaman bunga-bunga yang cantik dan rapi. Jika hari raya atau hari besar akan datang, ibu-ibu sekitar akan berduyun-duyun datang membawa telur, terigu, kelapa, serta bahan dasar lainnya untuk membuat kue-kue. Mereka akan membuat bersama di dapur Yaminah, karena ialah yang dikenal paling enak dan paham betul takaran, proses memasak kue-kue itu.

Perihal lain tentang Yaminah adalah kepandaiannya mengatur ekonomi keluarga. Ia memiliki sepetak tanah di belakang rumah. Dengan rapi dan penuh perhitungan ia bagi untuk berbagai macam sayur dan tumbuhan yang dapat memenuhi kebutuhan sayur mayur sehari-hari untuk ia, suami dan keenam anak-anaknya. Ia juga memelihara ayam dan itik yang ia ambil telur-telurnya. Telur ini tidak untuk dikonsumsi, tetapi “dijual” bersama kelapa yang tumbuh di halaman rumah, pada tengkulak yang berkeliling mencari hasil bumi di desa-desa. Telur dan kelapa ini dijual dengan cara barter, ditukar dengan bumbu dapur: bawang putih, bawang merah yang ia simpan hati-hati, digantung di langit-langit dapur. Perihal telur ini istimewa, karena dahulu telur adalah barang yang tinggi nilainya. Dalam keseharian, telur didadar dengan tambahan tepung dan air agar secara kuantitas menjadi banyak. Barulah jika ada anak yang sakit, diceplokkan satu butir telur untuk anak itu. Yang ajaib, sang anak pun percaya akan kekuatan telur. Setelah makan telur ceplok, langsung sembuh!

Yaminah dan suami juga sempat berjualan di rumah. Anak-anak mendapat giliran untuk menjaga dan melayani pembeli. Uang receh ia sisihkan di tepi, uang kertas untuk kembalian diletakkan dalam kotak. Pada anak-anak ia berujar, “Ini uang recehnya. Kalau pengen njajan es janggelan (cincau), boleh diambil, asal bilang dulu.” Pendidikan kepercayaan dan kejujuran yang diselipkan dalam hal perekonomian keluarga. Ah, Yaminah.

Jika ibu saya mendapat pujian, penghargaan atas berbagai keahliannya, saya yakin, sebagian besar harus diberikan kepada nenek saya. Beliau lah yang mendidik ibu sedemikian rupa.

Mbah Uti, maturnuwun sampun muruki ibuk kathah-kathah, 
ibuk sampun dados ibuk ingkang nyayangi kulo, mbak Maya lan mbak Ratih.
Mbah Uti, Vinka sakniki sampun kagungan Hayu, 
Mbah mesti seneng menawi mirsani, Hayu lucu mbah.

Mbah Uti, Vinka kangen. 

You Might Also Like

1 comments