Beberapa hari lalu ada yang bertanya, mengapa kami harus
berpindah ke Leeds? Apakah karena pak Rendy sekolah lagi? Hehe, ya, saya tidak
menjelaskan ini di postingan sebelumnya. Betul, pak Rendy sedang menempuh studi
lanjutan di sini. Mengapa harus ikut semua? Mengapa tidak Bapaknya saja yang
berangkat? Butuh biaya banyak kah? Apakah tidak takut? Bagaimana dengan sekolah
Hayu? Apa tidak kasihan dengan Hayu yang harus beradaptasi? Kira-kira itulah
pertanyaan-pertanyaan yang paling banyak saya dapatkan dari kawan & kerabat
ketika mengetahui rencana kami untuk berpindah ke Leeds.
Pertanyaan awal adalah yang paling mudah dijawab: Mengapa
harus ikut semua & tidak hanya Bapaknya saja yang berangkat? Karena
kesepakatan. Haha. Sebelum saya menjalin komitmen dengan suami, kami sudah
ngomong ngalor-ngidul jauh sekali ke depan yang menghasilkan beberapa
kesepakatan mendasar di antara kami berdua. Salah satunya adalah no living
apart/long distance marriage. Itulah mengapa dulu sejak awal, tepat seusai
pernikahan saya langsung ikut ke Jogja, ketika pak suami mengambil master.
Tentu setiap pilihan ada konsekuensinya. Misal, saya tidak memilih karir yang
mengharuskan ikatan kedinasan, mempersiapkan tabungan lebih karena harus siap
ongkos hidup yang lebih tinggi, dst. Menurut kami, konsekuensi ini sebanding
dengan rasa damai & ayem ketika kami bersama-sama setiap harinya.
Apakah butuh biaya banyak? Jujur, iya, hehe. Meski banyak
versi kami belum tentu sama ya dengan versi teman-teman pembaca. Jawaban ini
sepertinya akan saya bahas di postingan lain karena kebetulan ada kawan yang
meminta informasi rinci, sebab berencana untuk membawa keluarga juga ketika
lanjut studi.
Apakah tidak takut? Takut, sedikit. Was-was, tak berhenti
kepikiran tapi di saat yang sama juga senang dan tertantang. Bagaimana dengan
sekolah Hayu? Hayu tentu akan bersekolah di sini, bukan suatu masalah. Apa
tidak kasihan dengan Hayu yang harus beradaptasi? Hm, saya yakin bahwa proses
adaptasi ada tantangan masing-masing, tidak hanya untuk Hayu tapi juga saya
& suami. Saya percaya kami bisa mengatasinya, termasuk tentang adaptasi
sekolah Hayu.
Tentang sekolah Hayu, ada yang menarik karena di saat yang
bersamaan di tanah air sedang cukup riuh protes pendaftaran sekolah dengan cara
zonasi. Di sini, kami pun mengalami hal yang sama karena usia Hayu 4 tahun
sehingga masuk di tingkat Reception dan pendaftarannya pun tersentralisasi diatur
langsung oleh City Council atau Dewan Kota. Apa tidak ada sekolah favorit? Ada,
ada ranking penilaian masing-masing sekolah yang jelas terpampang & bisa
diakses publik kriterianya apa saja. Tapi apa tidak rebutan? Ya tentu ada
persaingan ketat rasio pendaftaran di sekolah “unggulan”, tapi sekolah juga
sudah memiliki kebijakan atas indikator prioritas apa yang digunakan untuk
menerima siswa. Saat ini kami masih dalam tahap menunggu “penawaran” resmi dari
sekolah, jadi saya ingin menyelesaikan seluruh proses dulu sebelum bercerita
selengkapnya tentang pendaftaran sekolah Hayu. Semoga nanti bisa menjadi sudut
pandang yang segar dan gagasan alternatif sehingga pembaca tidak semata-mata
ngotot di pro atau kontra atas sistem zonasi.
Semoga bisa menjawab pertanyaan di benak kalian. Cheers!