Yesterday, I just finished "Pasta" (Korean TV series). The plot is quite simple but also realistic and well-delivered. In short, the story goes from a girl who struggle for chef position in an Italian restaurant, after 3 years being an assistant only. Unlucky (or very lucky, instead), the head chef replaced into a new devilish, arrogant, cruel, harsh yet brilliant guy whose later falling in love with the girl.
I watched it with a lot of fun, mainly because I feel a connection and many "deja-vu"s splattered on their scene. Rendy is merely fit into head chef's character. His words could stabbed you right away, no yell or shout indeed. We always arguing, time by time. His aura is intimidating, ask his students. Let's not mentioning his arrogance, it makes he seems too bad. Hahaha. Until now, it's amazed me how I could fall deeply (too deep, maybe) into this bad boy and let him to be my husband. How come? =D
Matter of fact, girls (almost) always fall in love into bad boy, even at the end they usually prefer for marrying a good boy. I'm lucky I don't have to *grin*. The big question is: why do we always fall in love with bad boy? At least, have a heart for them. Why?
Perhaps, it's about the paradox. When someone could be so arrogant, then put lower his dignity to say and express their love, it always feel nice. Or when he look like careless to everything, but actually put some attention to us, it is lovely. We've already used to into the stiffness, the harsh and strong character, but when he show his delicacy only in a person, whose heart can't be melted?
Come on, how Juna Rorimpandey's tears could be a very hot topic for Masterchef Indonesia's viewers? How Ariel still be loved even after a few years spent behind the bars? Very interesting.
Human's trying to find a couple based on two: similarities and opposites. Similarities could help you get along easier with your couple. The same hobby will make your conversations never boring, have same activities make you close more and more. But human also search their complementary, thus, they attracted to opposites.
My bad boy in our early relationship. Look at his pose & gesture. =P
I feel grateful that I could find a spouse whose have many similarities & also opposites. I'm a "Miss Late" and he's a punctual man. I'm very stupid in music, and he's an expert in guitar, notice a note very well. I'm a total capitalist, he's merely a socialist in mind. We both have a high pride, perfectionist in our own way, and strong in different things. Et cetera, yada yada.
Last question crossed my mind when I think about this topic. Then, if I have a son, which way that I should teach him: being a good or bad boy? I don't want he'll having a rough time in romance, definitely. =D
Ketiga kata di atas adalah simpulan yang saya dapatkan dari kultwit Pak Bondan Winarno kemarin, di akun twitter-nya dengan kode tagar #foodies. Beliau memaparkan beberapa hal, dikhususkan untuk foodies (penggemar makan/kuliner). Tapi, hemat saya, ini tidak hanya bisa diterapkan dalam urusan icip-icip dan menikmati makanan. Lebih dari itu. Biar tidak penasaran, berikut kutipan lengkapnya.
Mulailah 'memelihara' food diary (di buku kecil, notes di HP, dll) ttg makanan/minuman yg Anda nikmati. Catat namanya dgn benar.
Catat nama dan alamat tempat Anda makan. Catat juga experience Anda ttg makanan/minuman yg dinikmati secara agak rinci.
Bila perlu, buat foto dari makanan/minuman itu. Catat harga. Bila berguna utk Anda, catat koordinat lat/lon tempat tsb.
Tambahkan/mutakhirkan catatan bila Anda mendapat info lain. Google untuk mendapat bandingan dgn pengalaman orang lain.
Mulailah berkesadaran utk menjadi orang yg resourceful. Bukan orang yang bertanya, lalu lupa, lalu bertanya lagi.
Jangan bertanya bila Anda tidak mencatat. Anda semua bisa menjadi pemerhati kuliner andal bila alatnya bukan sekadar lidah/perut
Sederhana? Ya, memang. Tapi menusuk di beberapa kalimat yang ditebalkan, terutama bagi saya yang susah istiqomah dalam menjalani hobi atau pekerjaan. Saya kerap bosan, mudah tertarik hal baru dan lupa hal lama. Hasilnya, tidak ada satu pun yang benar-benar saya dalami, kecuali Gathotkaca Studio. Hmm.
Detil
Dalam kultwit tersebut, Pak Bondan menyebutkan tips yang agak "lain": pencatatan koordinat latitude & longitude tempat kuliner, pemutakhiran catatan. Rasanya kok terlalu ndakik-ndakik dan di awang-awang ya tentang koordinat posisi tempat makan. Memang sih, jejaring sosial 4square saja sudah bisa membantu kita untuk melakukannya. Tetapi, apa sebegitu penting? Sisi lain di otak saya menjawab, tentu penting! Standar apa yang kira-kira bisa digunakan dan telah disetujui dunia untuk menyatakan tempat? Di film-film saja, ketika menentukan target, memakai koordinat pula kan Von? He just try to bring you further than you're imagined: world standardization.
Well, sedikit melompat. Jujur saja, saya dulu sangat sinis bin iri terhadap "wisata kuliner" yang dipandu oleh Pak Bondan Winarno. Bagaimana tidak, siapa kiranya yang mampu menandingi kayanya adjektiva jurnalis yang laporan investigasinya diakui dunia? Investigasi menuntut kejelian, kepandaian merekam informasi dan kemampuan deskripsi yang tajam dan presisi. Lha sudah biasa dengan kasus besar, kok sekarang jadi "kasus kecil-kecil" yaitu makanan. Tapi ya ujung-ujungnya saya harus mengakui kekaguman saya pada cara Pak Bondan menerapkan metode beliau, tak peduli besar kecilnya kasus: (super) detil.
Resourceful
Saya belum menemukan padanan kata asing ini. Artiannya dapat merentang dari kreatif, cerdik, pandai, hingga jujur. Resourceful mampu merekam seluruh sifat-sifat tersebut menjadi satu. Jika dijabarkan seperti apa itu 'menjadi resourceful'? Maka yang paling mendekati penjelasan Pak Bondan adalah orang yang mampu menghargai informasi yang ia dapat, menyimpannya baik-baik dan dimanfaatkan di saat yang tepat.
Kalau dingat-ingat, rasanya memang sering saya jengkel pada orang yang seusai bertanya lalu bertanya lagi atas penjelasan yang sama. Saya juga lebih jengkel kepada diri saya sendiri ketika ada di posisi tersebut hanya karena lupa tidak mencatatnya dengan baik, atau lebih parah, lupa mencatatnya di mana. My bad habit. =(
Konsisten
Kata ini adalah salah satu topik yang teratur saya tuliskan di blog ini, minimal tiap tahun. Bukan apa-apa, tetapi ini memang penyakit lama dan sering kambuh bagi saya, hingga perlu rasanya berkali-kali mengingatkan diri sendiri. Saya sangat bersyukur atas anugerah-Nya, saya mampu memelajari sesuatu hal dengan cepat. Hal ini membantu saya dalam beradaptasi, bersosialisasi hingga proses mencari rejeki. Tetapi di sisi lain saya juga memiliki kekurangan untuk tidak bisa tekun, tak mampu bersabar cukup lama untuk memerangi rasa bosan dan enggan yang menghampiri, serta ketertarikan pada hal baru yang dapat tumbuh dengan pesat dalam waktu singkat. Well, get some lose some.
Ketika dibaca berulang kali, semakin terasa bahwa hal-hal ini (ketekunan, atensi pada detil dan being resourceful) yang belum saya lakukan untuk menghayati hidup saya, untuk menjaga passion dan mencapai tujuan utama. Jalan masih panjang Bung, dan ia luas terbentang. Mari terus berusaha!
;)
PS. Maaf ya Pak Bondan, karena pernah sirik dan iri. Kapan-kapan saya sampaikan langsung permintaan maaf ini, in person. =)