Anda pecinta buku? Apakah Anda menganggarkan pos tersendiri untuk membeli buku tiap bulannya?
Ketika saya naik ke kelas 6 SD, saat itu saya baru menyadari bahwa ada orang-orang yang menyisihkan penghasilannya untuk berbelanja buku. Kejadian ini bermula saat saya mengikuti program TeKaT Sayang dari Jawa Pos, semacam homestay antar etnis dimana saya tinggal selama 7 hari di rumah Papi Paulus & Mami Linawati di Bendul Merisi, Surabaya. Di situ pula pertama kalinya saya mengetahui ada keluarga yang begitu cinta & terus-menerus mengajarkan agar menyukai buku, melebihi keluarga saya.
Di hari pertama saya ikut "hidup" dengan mereka, saya diajak untuk pergi ke Gramedia, toko buku yang bagai surga bagi saya yang hanya kenal toko buku pelajaran di Mojosari atau pojok kios buku bekas di Mojokerto. Tapi, surga yang satu ini bersyarat: butuh uang untuk menukar kenikmatannya. Saya berkali-kali tersenyum kecut ketika membalik buku dan mengetahui harganya. Hari itu hari pertama, saya masih sangat canggung dan hampir tak mungkin untuk meminta dibelikan buku. Saya sempat menyesal untuk tidak menyelipkan sedikit uang dari tabungan yang sudah saya siapkan sebelumnya. Karena peraturan program yang mengharuskan peserta tidak membawa sepeser pun (agar mereka meminta orang tua baru mereka untuk kebutuhan apa saja), saya benar-benar tidak punya uang untuk buku-buku yang mendebarkan hati ini, buku-buku licin mengkilat dalam kemasan. Buku dengan judul yang sejenis biasanya hanya bisa saya jumpai dalam bentuk bekas.
Mami mungkin melihat binar mata dan senyum masam saya karena tidak lama kemudian beliau meyakinkan saya untuk mengambil buku apa saja yang saya mau, sebagaimana ia kemudian meyakinkan anak-anaknya agar mengambil buku yang dimau. Tetapi hanya buku, bukan yang lain. Yoga, putra bungsu yang berumur sekitar 3-4 tahun mulai merengek melihat mainan yang menarik baginya, tapi Mami memberi pengertian bagaimana buku lebih baik & menarik untuk dibeli. Saya kemudian memilih Jilid pertama dari Lima Sekawan: Di Pulau Harta dan ikut menumpuknya dalam tas belanja Mami. Di kasir, saya hampir melongo melihat kuantitas & angka di mesin penghitung. Di tahun tersebut, belanja "sekedar" buku dalam kisaran ratusan ribu rupiah itu gila bagi saya, hampir-hampir surreal.
Di hari kedua, saya baru mulai memahami ruangan-ruangan di
rumah Bendul Merisi itu. Dan lagi-lagi saya takjub dengan kebiasaan membaca di
keluarga ini. Terdapat meja nakas di dekat tempat duduk ruang keluarga yang
berisi deretan beberapa surat
kabar berbeda dalam edisi hari yang sama dan beberapa majalah terbaru. Di
keluarga saya sendiri juga berlangganan, tapi ya hanya satu koran. Majalah yang
berlangganan ya hanya Bobo saja, untuk saya. Melihat meja yang hampir menyerupai
kios koran ini saya berpikir, apa sempat untuk membaca semua ini dalam satu
hari? Tapi Papi terbukti selalu membaca seluruh koran sambil menyeruput 2 telur ayam
kampung setengah matang sebelum bekerja.
Yang terlintas di benak pertama kali karena kebiasaan
keluarga Paulus ini adalah: wah, begini ya orang kaya raya itu, tidak perlu
berhemat, bisa membeli buku dan majalah sepuasnya. Tapi sekali lagi pemikiran
saya terpelanting setelah menyaksikan bagaimana Mami mengajak putra-putrinya
untuk makan di rumah saja dibanding membeli McD (Mami tetap membeli sedikit agar saya dapat mencicipi), bergotong royong mengemas kacang kapri hasil
perkebunan yang kemudian dijual di supermarket oleh Mami, memasak bersama-sama. Ternyata
ini bukan perkara berhemat atau berfoya-foya, tetapi prioritas. Mami memilih untuk meletakkan
buku, majalah, koran sebagai perihal yang penting dan pantas untuk diberi anggaran
lebih.
Setelah berumah tangga, saya mulai serius belajar tentang
anggaran dan kawan-kawannya. Setelah bereksperimen dengan berbagai model
pembagian bujet, beberapa bulan terakhir ini saya menggunakan rasio yang
disarankan oleh Li Ka Shing. Artikel lengkap penjelasan beliau dapat dibaca disini.
Secara singkat beliau membagi setiap pendapatan yang masuk
dalam 5 kategori yaitu Daily Life : Social+Connection : Study : Holiday : Investment dalam proporsi sebagai berikut
3:2:1,5:1:2.5. Selalu seperti itu untuk setiap pemasukan, kemudian terus
berusaha menghabiskan anggaran tersebut dalam porsi yang telah ditentukan.
Dalam pengaplikasian pribadi, tentu saya menyesuaikan perbandingan anggaran
dengan beberapa kebutuhan yang esensial bagi saya seperti zakat & shodaqoh,
dana kesehatan dan tabungan.
Saya menganggap model ini cukup sederhana dan memiliki esensi yang tidak saya temukan pada model yang lain. Misal, ada anggaran Study dimana
saya (& mas Rendy) memang harus menghabiskan uang dalam pos itu untuk
belajar; membeli buku setiap bulan; mengikuti kursus. Tidak banyak model
anggaran yang memberikan perhatian khusus pada “pengembangan diri” segamblang
ini. Saya memilih untuk menggunakannya untuk berlangganan tabloid resep masakan
dan majalah atau buku merajut untuk meningkatkan kemampuan saya di 2 bidang
favorit.
Mungkin tidak semua orang setuju bahwa buku adalah hal yang
cukup penting untuk dianggarkan. Sah-sah saja dan tidak perlu dipermasalahkan,
karena pendapat tersebut juga beralasan. Menilik masa sekarang, kita bisa
mengakses informasi dan pengetahuan melalui internet dengan biaya yang minim.
Tetapi saya yakin, -keyakinan yang diiringi cinta buta- bahwa masih ada permata
yang terselip di balik buku dengan segala kebanalan yang ia miliki.
=)