Anggaran & Buku

17:04:00

Anda pecinta buku? Apakah Anda menganggarkan pos tersendiri untuk membeli buku tiap bulannya?

Ketika saya naik ke kelas 6 SD, saat itu saya baru menyadari bahwa ada orang-orang yang menyisihkan penghasilannya untuk berbelanja buku. Kejadian ini bermula saat saya mengikuti program TeKaT Sayang dari Jawa Pos, semacam homestay antar etnis dimana saya tinggal selama 7 hari di rumah Papi Paulus & Mami Linawati di Bendul Merisi, Surabaya. Di situ pula pertama kalinya saya mengetahui ada keluarga yang begitu cinta & terus-menerus mengajarkan agar menyukai buku, melebihi keluarga saya. 

Di hari pertama saya ikut "hidup" dengan mereka, saya diajak untuk pergi ke Gramedia, toko buku yang bagai surga bagi saya yang hanya kenal toko buku pelajaran di Mojosari atau pojok kios buku bekas di Mojokerto. Tapi, surga yang satu ini bersyarat: butuh uang untuk menukar kenikmatannya. Saya berkali-kali tersenyum kecut ketika membalik buku dan mengetahui harganya. Hari itu hari pertama, saya masih sangat canggung dan hampir tak mungkin untuk meminta dibelikan buku. Saya sempat menyesal untuk tidak menyelipkan sedikit uang dari tabungan yang sudah saya siapkan sebelumnya. Karena peraturan program yang mengharuskan peserta tidak membawa sepeser pun (agar mereka meminta orang tua baru mereka untuk kebutuhan apa saja), saya benar-benar tidak punya uang untuk buku-buku yang mendebarkan hati ini, buku-buku licin mengkilat dalam kemasan. Buku dengan judul yang sejenis biasanya hanya bisa saya jumpai dalam bentuk bekas. 

Mami mungkin melihat binar mata dan senyum masam saya karena tidak lama kemudian beliau meyakinkan saya untuk mengambil buku apa saja yang saya mau, sebagaimana ia kemudian meyakinkan anak-anaknya agar mengambil buku yang dimau. Tetapi hanya buku, bukan yang lain. Yoga, putra bungsu yang berumur sekitar 3-4 tahun mulai merengek melihat mainan yang menarik baginya, tapi Mami memberi pengertian bagaimana buku lebih baik & menarik untuk dibeli. Saya kemudian memilih Jilid pertama dari Lima Sekawan: Di Pulau Harta dan ikut menumpuknya dalam tas belanja Mami. Di kasir, saya hampir melongo melihat kuantitas & angka di mesin penghitung. Di tahun tersebut, belanja "sekedar" buku dalam kisaran ratusan ribu rupiah itu gila bagi saya, hampir-hampir surreal.

Di hari kedua, saya baru mulai memahami ruangan-ruangan di rumah Bendul Merisi itu. Dan lagi-lagi saya takjub dengan kebiasaan membaca di keluarga ini. Terdapat meja nakas di dekat tempat duduk ruang keluarga yang berisi deretan beberapa surat kabar berbeda dalam edisi hari yang sama dan beberapa majalah terbaru. Di keluarga saya sendiri juga berlangganan, tapi ya hanya satu koran. Majalah yang berlangganan ya hanya Bobo saja, untuk saya. Melihat meja yang hampir menyerupai kios koran ini saya berpikir, apa sempat untuk membaca semua ini dalam satu hari? Tapi Papi terbukti selalu membaca seluruh koran sambil menyeruput 2 telur ayam kampung setengah matang sebelum bekerja.

Yang terlintas di benak pertama kali karena kebiasaan keluarga Paulus ini adalah: wah, begini ya orang kaya raya itu, tidak perlu berhemat, bisa membeli buku dan majalah sepuasnya. Tapi sekali lagi pemikiran saya terpelanting setelah menyaksikan bagaimana Mami mengajak putra-putrinya untuk makan di rumah saja dibanding membeli McD (Mami tetap membeli sedikit agar saya dapat mencicipi), bergotong royong mengemas kacang kapri hasil perkebunan yang kemudian dijual di supermarket oleh Mami, memasak bersama-sama. Ternyata ini bukan perkara berhemat atau berfoya-foya, tetapi prioritas. Mami memilih untuk meletakkan buku, majalah, koran sebagai perihal yang penting dan pantas untuk diberi anggaran lebih.

Setelah berumah tangga, saya mulai serius belajar tentang anggaran dan kawan-kawannya. Setelah bereksperimen dengan berbagai model pembagian bujet, beberapa bulan terakhir ini saya menggunakan rasio yang disarankan oleh Li Ka Shing. Artikel lengkap penjelasan beliau dapat dibaca disini.

Secara singkat beliau membagi setiap pendapatan yang masuk dalam 5 kategori yaitu Daily Life : Social+Connection : Study : Holiday : Investment dalam proporsi sebagai berikut 3:2:1,5:1:2.5. Selalu seperti itu untuk setiap pemasukan, kemudian terus berusaha menghabiskan anggaran tersebut dalam porsi yang telah ditentukan. Dalam pengaplikasian pribadi, tentu saya menyesuaikan perbandingan anggaran dengan beberapa kebutuhan yang esensial bagi saya seperti zakat & shodaqoh, dana kesehatan dan tabungan.

Saya menganggap model ini cukup sederhana dan memiliki esensi yang tidak saya temukan pada model yang lain. Misal, ada anggaran Study dimana saya (& mas Rendy) memang harus menghabiskan uang dalam pos itu untuk belajar; membeli buku setiap bulan; mengikuti kursus. Tidak banyak model anggaran yang memberikan perhatian khusus pada “pengembangan diri” segamblang ini. Saya memilih untuk menggunakannya untuk berlangganan tabloid resep masakan dan majalah atau buku merajut untuk meningkatkan kemampuan saya di 2 bidang favorit.

Mungkin tidak semua orang setuju bahwa buku adalah hal yang cukup penting untuk dianggarkan. Sah-sah saja dan tidak perlu dipermasalahkan, karena pendapat tersebut juga beralasan. Menilik masa sekarang, kita bisa mengakses informasi dan pengetahuan melalui internet dengan biaya yang minim. Tetapi saya yakin, -keyakinan yang diiringi cinta buta- bahwa masih ada permata yang terselip di balik buku dengan segala kebanalan yang ia miliki.


=)

You Might Also Like

4 comments

  1. Terima kasih, suka membaca apa yang kamu bagi di blog ini...

    ReplyDelete
  2. Saya juga berterima kasih, Indra Yanuardi, karena telah berkenan membacanya.

    ReplyDelete
  3. hai mba salam kenaal :))
    wah aku malah benci toko buku gramedia .
    karena mahal-mahal hehehe
    aku lebih suka belanja buku di pasar loak , buku bekas antik dengan harga murah :)
    apakah di kota mba ada pasar loakan buku?

    ReplyDelete
  4. Halo Dikau Shirley. Karena baru pindah ke Sidoarjo jadi belum paham betul nih di mana pasar loak buku. Hehe. Semoga saya bisa segera menemukan dan bisa dibagi di sini. =)

    ReplyDelete