Alh hr ini ak juara 2 tns meja hut korpri kab.Mjkerto. Smg anak cucuku sll berprestasi dlm bid apapun.
Pesan pendek ini masuk ke telpon seluler saya siang ini. Dari Ibu tercinta. =)
Ibu berusia 51 tahun sekarang. Tidak muda lagi mungkin, tetapi masih enerjik, aktif sana-sini. Saya sedikit kaget sebenarnya, ketika beliau menyebutkan kompetisi olahraga. Sejak pengangkatan rahim beliau tahun lalu, Ibu mengurangi beberapa olahraga yang biasa dijalani seperti voli dan tenis meja, menggantinya dengan jalan kaki secara teratur. Semoga beliau sedang dalam performa terbaik, sehingga bisa menjalani olahraga tersebut tanpa efek di kemudian hari.
Mengingat sosok Ibu bagi saya, adalah momen dimana saya mengalami rasa bangga dan minder sekaligus. Siapa yang tak bangga, melihat Ibunya memiliki puluhan pencapaian, baik dalam karier ataupun organisasional. Taruhlah Guru Teladan, ketua bidang di organisasi keagamaan daerah, Bu RT tempat favorit untuk curhat warganya, sampai juara merangkai bunga. Tetapi siapa juga yang tidak mengkerut, ketika melihat Ibu yang atlet, jago masak, menjahit, memotong rambut, berkebun, menghias peningset* sampai pebisnis handal, dan saya mungkin hanya memiliki 2 keahlian dari yang sudah disebutkan. Pfiuh.
Ibu bagi saya adalah idola, tetapi juga pesaing di saat yang bersamaan. Ketika saya masih di bangku SD dan SMP, guru-guru saya banyak yang telah mengenal Ibu dengan baik sebelumnya. Resiko terbesar mempunyai Ibu yang berprestasi adalah dibanding-bandingkan. Saya telah mengalami fase dimana pembandingan itu tidak lagi membuat saya bangga, tetapi jengah.
"Wah, putranya bu Wid ya? Pantes kok pinter."
"Putranya bu Wid kan? Ya harus bisa lah, ibunya saja bisa."
Waktu itu, saya marah. Saya marah karena apa yang ada di benak mereka bukanlah saya sebagai subjek pelaku, tetapi Ibu. Beruntung, kemarahan itu menjadi energi saya untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi, yang membuat saya diingat dengan nama saya sendiri, bukan nama Ibu.
Hierarki Maslow dan teori kebutuhan McClelland rasanya sudah cukup menjelaskan apa yang saya alami. Aktualisasi diri dan kebutuhan berprestasi. Iya, betul. Tetapi, muncul pertanyaan lain: apakah kemarahan itu tepat?
Sekarang, saya sedang berada di fase yang hampir mirip, hanya saja yang menjadi titik pembanding adalah kekasih saya. Memang kami belajar di jurusan yang sama, untungnya di peminatan yang berbeda. Kekasih yang sekarang jadi pengajar di universitas almamater kami, ternyata juga berpotensi untuk memunculkan celoteh orang-orang yang (saya tidak tahu mengapa mereka) tidak berpikir panjang.
"Oh, ini ya pacarnya mas Rendy? Pantesan pinter."
"Mas Rendy kan pinter, masak pacarnya nggak. Kan nggak pantes dong."
Saya sempat kehilangan kata-kata di saat pertama kali mendengar komentar seperti di atas. Secara logika, pembandingan dengan Ibu lebih pantas karena Ibu yang mewariskan gen kepada saya. Kalau Rendy? =D
Akun FB saya akhir-akhir ini mendadak banjir dengan permintaan pertemanan dari mahasiswa-mahasiswa yang diajar Rendy. Penasaran karena saya pacarnya Rendy, atau memang benar-benar ingin mengenal saya, sebagai seorang Vinka Maharani?
Saya paham, jika dalam kehidupan sosial, seseorang tidak mungkin dilepaskan dari afiliasi terhadap relasi-relasi yang ia jalin. Tetapi, bukankah konyol jika afiliasi tersebut dijadikan dasar (mutlak) atas penilaian individu tersebut? Saya yakin, tiap-tiap individu telah berusaha sedemikian rupa sehingga ia berhak atas penghargaan yang setimpal dengan usahanya.
Dan ternyata, jawaban atas pertanyaan sebelumnya:
kemarahan itu tidak tepat.
Kemarahan atas dis-apresiasi yang diterima hanya menempatkan prestasi sebagai dendam. Dendam yang ketika telah terbalas, berhak untuk disombongkan. Pola pikir yang menaruh sebuah pencapaian sebagai sebuah alasan untuk jumawa, adidaya dan lebih baik dari yang lain adalah kesalahan mendasar. Saya, dulu, tidak meletakkan proses meraih prestasi sebagai sebuah kebutuhan, bagian alami dari daur hidup sehari-hari. Saya, dan rekan-rekan Ibu saya yang dulu itu sepertinya tidak paham bahwa apa yang Ibu lakukan adalah untuk memenuhi hajat hidupnya. Seberapa banyak kebutuhan individu yang satu dengan yang lain, sudah pasti nisbi. Tetapi jika proses pemenuhan kebutuhan berprestasi ini dimengerti dengan baik, pembandingan itu tidak ada, yang muncul adalah dukungan satu sama lain untuk produktif dalam berjuang meraih pencapaian(nya).
"Man has always needed to believe in some form of a continuity of achievement."
-- Robert Vaughn
Bop, Mom and me, at Mom's Master Graduation
*peningset: mahar atau bawaan pengantin untuk pernikahan yang dihias berbagai bentuk
Mungkin ia belum pernah mendengar ungkapan bahwa besar kecilnya jiwa
seseorang tergantung bagaimana ketika ia merespon sebuah kritik;
khususnya kritik yang menyangkut dirinya, baik secara pribadi atau
kolektif.
-- Danny Septriadi & Darminto M Sudarmo
Hari ini, kata sifat yang dapat seketika menggambarkan lajunya adalah Nampol. Bukan kata yang baku memang, tapi yang penting presisi untuk deskripsi. Kritik, belajar, proses adalah beberapa hal yang rasanya sedang dijejalkan Tuhan secara beruntun, agar saya tak lama-lama memahami seluruhnya. Tulisan ini akan panjang, silakan disudahi sekarang juga jika tak punya waktu membacanya. Setengah-setengah tidak akan membawa signifikansi untuk anda. *Loh, kok jadi ngancem? Haha*
As the day of heroes in Indonesia, I tried to contemplate and think deeper about what I have done to this country, to these people I loved. Having a dinner with close friends, rethought about what should we prepare to face the next phase of our life. And I realized, I made mistakes, fell several times to reach this point. Being grateful is great, but gratefulness without a real act is incomplete, in my own opinion. So I made a promise tonight, for the past passed and the future ahead. Ifthere arebenefits,I willcertainlyspread it as the widest.Butif there's onlyloss,then letmefixit again andagain.
I can't share it to you now, but I hope the d-day will come soon. Wish me luck fellas.
Freedom or death!
Bandas Ledam's BTS photos. A movie that I produced with friends from Sinematografi UA.
Because I'm too tired today, I slept until 12pm. Almost 10 hours. Haha. But incredibly, all of my plan went well, except for massage time. I rethought and would like to change it into another pampering myself thing. I felt my amino-acids did their job very well, I am not tired at all after that long sleeps.
Anyway, Rendy just love to play with his phone application. Then, he twitted these two photos.
Whoahhh!
Midweek, and I've already missed my weekend.
Bunches of work to go in this rest day of this week. Etre courage, Von!
Last Sunday sudden picnic with Rendy in Korean park
Anyway, I always believe that I'm a natural born personal buyer. Hehehe.
Many people enjoy shopping with me. I do really hope this could be my job, one day. =D