Booboisie: Nampol!
23:30:00
Mungkin ia belum pernah mendengar ungkapan bahwa besar kecilnya jiwa
seseorang tergantung bagaimana ketika ia merespon sebuah kritik;
khususnya kritik yang menyangkut dirinya, baik secara pribadi atau
kolektif.
-- Danny Septriadi & Darminto M Sudarmo
Hari ini, kata sifat yang dapat seketika menggambarkan lajunya adalah Nampol. Bukan kata yang baku memang, tapi yang penting presisi untuk deskripsi. Kritik, belajar, proses adalah beberapa hal yang rasanya sedang dijejalkan Tuhan secara beruntun, agar saya tak lama-lama memahami seluruhnya. Tulisan ini akan panjang, silakan disudahi sekarang juga jika tak punya waktu membacanya. Setengah-setengah tidak akan membawa signifikansi untuk anda. *Loh, kok jadi ngancem? Haha*
Tadi pagi (hingga siang), akhirnya saya menghadapi DELF tingkat A2. Ujian komprehensi untuk bahasa Perancis yang mendapat pengakuan langsung dari Pemerintah Perancis ini cukup bikin degup jantung saya tidak karuan. Terdiri dari 4 epreuves, ujian tulis saya lewati dengan baik. Nah, ujian wawancara oralnya ini yang cukup merepotkan. Diuji oleh 2 orang Indonesia, saya terhenti di bagian 2 (monolog) cukup lama, dan di bagian 3 (bermain peran). Aw!
Pengumuman hasilnya masih 1-2 bulan lagi. Iya, lama. Tapi saya memutuskan untuk tawakkal saja. Toh sudah lewat dan saatnya memburu target lain untuk bahasa. Hehehe.
Setelah tes, ada beberapa kejadian yang menampar-nampar diri saya berulang kali, hingga saya berada pada titik nol. Titik netral. Titik dimana saya dapat menerima kenyataan setelanjang adanya. Kenyataan bahwa saya berulang kali salah, lambat berubah, keras kepala. Pun fakta-fakta bahwa saya sedang mengalami degradasi kualitas di beberapa lini. Sedih? Lumayan. Tapi pasti akan lebih menyedihkan jika saya menyadari ini, bukan dari orang-orang yang saya cintai. Mereka memeluk saya erat-erat hingga tak jatuh dan langkah selanjutnya tidak lagi berat.
Hari ini pula, saya bertemu orang yang luar biasa mengherankan (banyak orang) terkait dengan pengendalian emosinya. Tidak profesional, kata teman saya. Memang apa itu profesional dalam pengendalian diri? "Harusnya, perasaan buruk atas sesuatu itu juga harus profesional, sesuai dengan konteks dan tempatnya. Cemberut perkara asmara, eh teman-teman sekitar jangan kena getahnya dong." Wah, saya hanya tertawa kecil, tersindir juga tipis-tipis. Hmm, berapa kali ya saya sudah salah sasaran dalam kemarahan? Dan pasti yang terciprati amarah itu yaa orang-orang di sekitar saya, yang saya sayangi. Maafkan saya. =(
Di hari ini juga, saya juga berhasil dibuat melek atas banyaknya kekurangtahuan saya dan rendahnya bahan bakar serta oksidasi otak selama beberapa bulan terakhir. Berapa buku "serius" yang saya baca 4 bulan terakhir? Nol. Berapa film yang saya kupas dalam 7 bulan terakhir? Nol. Berapa tulisan berbobot yang saya hasilkan 1 tahun terakhir? Tak satu pun. *ketok pake palu*
Terus, saya membaca kutipan awal tulisan ini di sini. Wah, nampol abis.
Err, saya tidak mau jadi seperti apa yang H.L. Mencken sebut 89 tahun yang lalu: Booboisie. Saya tidak mau jadi kelompok menengah yang bebal, yang menerima tanpa berpikir (unthinkingly) standar kelas menengah yang umum. Ikhlas deh hari ini ketampol-tampol, tapi jadi lebih lapang dalam berpikir. Untung lah, ketampol hari ini, mengikis habis pemikiran untuk berniat menyombongkan diri, menghapus rasa ingin jumawa, rasa berpunya dibanding satu atau banyak orang. Semoga saya tidak pernah terjerembab di perasaan-perasaan itu, apalagi menganggap diri lebih tinggi dan lebih baik. Na'udzubillah. *ketok dinding*
Omong-omong, Tuhan itu kalo dipikir-pikir baik banget ya. =)
2 comments
hihihi iseng blogwalking ternyata nyasar kesini
ReplyDeleteapa kabar, Vinka?
tulisannya nampol :)
Hello!
Titaz
www.stylieandfoodie.blogspot.com
=)
ReplyDeleteAlhamdulillah Titaz, kabar baek.. Terima kasih untuk pujiannya, hehe.
Semoga mau untuk baca tulisanku yg lain. =D