Bersyukur

16:10:00

Kata Quraish Shihab 2 hari yang lalu, bersyukur itu tidak hanya berterima kasih. Bersyukur: selalu menganggap pemberian yang sedikit itu sudah terlampau banyak dan selalu merasa baru memberi sedikit meski secara jumlah sudah cukup banyak. 

Akhirnya sore kemarin saya berhasil menyampaikan salam seorang teman kepada Ibu dan keluarga. Alhamdulillah, saya tidak sampai menangis. Teman ini sudah cukup dekat dengan keluarga, sehingga ketika mendengar kabar keberhasilannya melewati skripsi, sidang dan revisi, Ibu mengucap syukur berkali-kali. Berarti ia akan lulus, wisuda, kembali ke tanah kelahirannya. Dan saya akan kehilangan kehadiran teman terbaik saya.

Kanti, namanya. Pertama kali mengenal karena ia mengikuti proses pendadaran unit kegiatan mahasiswa Sinematografi tahun 2007. Saya yang merancang dan menjalankan program itu, dan jadi orang tergalak buat peserta saat itu. Tepat setahun kemudian, Kanti menjalankan peran yang sama. Lebih galak tapi, dibanding saya. Hehe. Mimpi (ter)buruk bagi peserta (dan panitia) pendadaran mungkin untuk tahun kemarin. Saya dan Kanti sama-sama hadir, dan jadi duet maut senior cewek tergalak mungkin sepanjang sejarah. Maaf ya. =D

ki-ka: Saya dan Kanti ngecek tingkat kekuningan lidah. Wek!
Banyak yang bilang sifat saya dan Kanti mirip: keras kepala, keras, ekspresif. Iya sih, memang. Tetapi bukan sifat-sifat itu yang membuat pertemanan ini menjadi rapat. Terus terang dan logis. Itu. Mau kami tengkar sehebat apa pun (iya, kami juga bertengkar), akan mudah mereda ketika penjelasan-penjelasannya berterima dengan akal. Mau sesakit apa kata-kata atau nasehat yang terlontar satu sama lain, akan diakui karena kenyataan yang terjadi sama pahitnya. 

Kadang saya sempat kesal juga pada Tuhan, kenapa Ia mempertemukan saya dengan orang-orang yang tidak bisa saya temui lagi, tidak diberi kesempatan untuk membalas kebaikan mereka. Kanti misalnya, sejak awal kenal, ketika saya tanya tentang rencana hidupnya, dengan mantap dijawab akan kembali dan berkarya di Pekanbaru. Tinggal, menetap, berkeluarga dan berumah tangga di sana. Sejak saat itu pula saya sadar bahwa pertemanan pun sepertinya punya masa tayang. Terbatas.

Namun saya sepertinya lupa diri. Jika diingat-ingat, saya juga meninggalkan teman-teman saya di Tulangan, di Mojosari, bahkan juga yang di Surabaya, karena sekarang saya tinggal di Yogyakarta. Mungkin juga ada teman saya yang dulu juga kecewa, ketika saya seharusnya bisa membantu, menghibur atau sekedar berbagi tawa, tapi saya tidak ada di situ. Maaf. 

Pertemuan - perpisahan, asing kemudian saling kenal, sekarang saya sadar betul kewajaran peristiwa ini dalam alur hidup. Dan harusnya saya mulai belajar bersyukur. Berterima kasih karena 5 tahun berselang, dengan berbagai momentum [saya lulus, kerja, gaji pertama, lamaran, menikah, Kanti pacaran, putus, digebet banyak cowok, ga ada satupun yang jadi, ups!] hingga hal-hal wajar sehari-hari [nyulik Kanti buat brunch di cak Sandi, mendadak nonton di Lenmarc yang jauh minta ampun, nonton gigs, nggosip, berlama-lama di toko buku atau toko grosir, blablabla. Maturnuwun sanget Gusti. 

Dan sekarang harus belajar untuk merasa bahwa saya masih belum memberikan apa-apa sebagai rasa syukur itu sendiri. Belajar menggunakan berbagai upaya agar pertemanan ini terjalin. Belajar berusaha, untuk membuat teman-teman saya tidak kehilangan dan tetap menganggap saya sebagai temannya. Bismillah. 
Kembaran ciput. =D
PS: Saya dan Rendy sedang mudik ke Surabaya. Pulang. Happy Eid! =*

You Might Also Like

0 comments