At Peace

02:08:00

Jam segini kalo jadi ibu rumah tangga itu bisa banget lho kebangun, karena kepikiran buat menanak nasi. Jaman dulu, mana ada ceritanya.. =D Yang ada begadang buat rally nonton film, serial, atau namatin buku.

Ah, malam ini rasanya sebentar sekali. Makan malam sambil berpetualang kuliner di kota yang baru ini. Agak spesial, karena memeringati 1 tahun pernikahan kami [Yeayy!]. Pulang ke rumah pun sudah larut. Saya yang memilih puasa hari ini (9 Juli) pun ragu untuk memejamkan mata. Tanggung. Dibuat tarawih juga habis sudah. 

Ternyata, sisa waktu yang senggang kok ya masih lama. Mau ngerajut, malah bikin ngantuk. Mau mulai tadarus ramadhan, suami ini sensitif sekali sama suara-suara. Kasihan lah kalau sampai terbangun. Jadilah saya biarkan pikiran saya mengembara sejauh mungkin. 

Satu tahun pernikahan ini luar biasa. "Sekolah" yang sebenar-benar sekolah. Ada materinya, ada tesnya, ada ulangan umum dan (yang menyenangkan sekali yaitu) naik kelas! Many ways beyond expectation. Beneran ga kebayang & ga kepikir tahapan-tahapannya. Misal, semenjak kecil kita pasti tahu satu atau dua orang yang bercerai, tapi tahukah kamu cara menjadi sahabat orang yang telah bercerai? Apa yang sebenarnya harus kamu lakukan? ---->> contoh soal ulangan.

Orang bilang kalo pisau itu punya 2 sisi. Nah, bertumbuh dewasa itu satu sisi, menjalani & mengusahakan kedewasaan itu satu sisi yang lain. Yang gawat, kadang-kadang bentuknya tidak bipolar begitu, tak tentu. Grey and another shade will be and indeed matters. 

Dulu, saya sangat tegas warnanya. Hitam ya hitam, putih ya putih. Kamu ga suka saya karena keras kepala atas "hitam"nya saya, pilihannya 2: bentrok atau menyingkir. Bahkan waktu SMP-SMA lebih gila lagi, kalau harus berhadapan, maka harus ada darah yang menetes. Eh, banyak pula kawan yang mengamini prinsip ini. Dasar remaja. 

Sekarang, dengan melihat suami yang lebih solid gradasinya, saya jadi lebih berhati-hati dalam memilih warna. Teu bisa sabodo lagi. 

Karena mikirin suami, pikiran saya pun jalan-jalan lagi.

Sedari dulu, saya bukan orang yang gampang lupa pada peristiwa lampau yang menghasilkan cekungan atau bukitan perasaan. Penyakit(/berkah) orang melankolis. Kalau dilanjut mikir, perjalanan cerita saya dan suami cukup berdarah-darah. Orang bilang, tujuannya itu bukan yang paling penting, tapi bagaimana perjalanan/prosesnya. Nah, untuk yang satu ini sepertinya saya ga setuju dulu. In my case, the process somehow locked me up into a suffocating jail that I've been through when I was in the valley of the journey. The only thing who keeps me going is the goal itself. Selama ini, saya menghadapi kenangan buruk dengan cara meletakkan masa lampau tersebut di sudut ring yang berlawanan, menjaga jarak dan tak mau dekat-dekat. Pemikiran saya: kalau saya tanpa jarak, maka memori-memori yang tidak menyenangkan akan mengambil alih kesenangan masa sekarang. Jadi lebih berjaga-jaga dengan menjauh saja. 

Tapi malam ini, saya memilih untuk mencoba gagasan baru: menggandeng masa lampau. Tujuannya ya untuk berdamai. Karena damai(ku) bukan seperti yang diucapkan pihak yang kalah perang, damai untuk meminta ampunan. Damai adalah menyadari hak/kewajiban tiap-tiap bagian dan meletakkannya tetap di tempat mereka sesuai fungsi & gunanya. Saya butuh untuk berdamai, pada masa lalu sendiri, suami, keluarga, bahkan dunia ini. Caranya gimana? Yaa, belum tahu. Hehe. 

Yang penting "innamal a'malu bin niat" kan? Hehe. 
Dan yang lebih penting, sudah saya mulai malam ini. 

Semoga ramadhan ini mendamaikan sisi-sisi hati yang bergeser satu sama lain. 

You Might Also Like

0 comments