Media Sosial: Inferioritas & Menjaga Ego tetap Kenyang

23:00:00

Ditulis pada 9 Mei 2016

Gambar dari sini
Akhir minggu ini kita di Indonesia diganjar dengan libur yang lebih panjang dari pada biasanya. Waktu luang yang jarang didapat itu membuat saya bisa menjelajah media sosial lebih banyak, lebih lama & lebih teliti. Maklum, biasanya hanya dialokasikan untuk Instagram (akun @braavos_knit), Twitter pribadi dan Tokopedia. Eh, yang terakhir bukan medsos sih ya, tapi jualan. Hehe.

Setelah menikmati aliran linimasa, alih-alih merasa terhibur saya merasa rendah diri. Seorang yang saya tahu memuat gambar aurora yang luar biasa indah yang ia lihat di Norwegia, kawan SMA berfoto dengan kawan-kawannya usai pesta lengkap dengan limusin & latar belakang jalan dengan pantulan warna-warni lampu New York. Ada juga yang merajut di kapal layar pribadinya, atau di griya tawang yang disewa khusus untuk liburan kali ini dan tempat-tempat eksotis lain. Pemandangan yang seriously too good to be true ini bertebaran di media sosial saya, atau mungkin kalian juga. Bagian terburuknya adalah, this is real, bukan adegan di film-film. Haha. 

Bukan sih, bagian terburuknya adalah saya iri. Bagian terbaiknya adalah saya tahu & sadar betul bahwa saya sedang iri. I acknowledged myself that I was jealous, and feeling inferior. I didn't deny it, because it helped me to go through the next step, how to heal the jealousy. Karena saya paham apa yang sedang terjadi dalam benak & perasaan saya, maka saya pun mudah menemukan antidot-nya: bersyukur. Itu saja, beres sudah.


Kalau saya amati, sosial media memang jago sekali menyentuh ego manusia. Ia bahkan dapat membuat ego kenyang atau lapar seketika. Puluhan love saat mengunggah foto di Instagram tidak dapat disanggah membuat ingin mengunggah foto lain yang lebih wah, lebih oke, lebih spektakuler agar tidak hanya puluhan, tapi ratusan bahkan ribuan likes yang terpampang di akun saya. Manusiawiiii banget, karena likes itu dianggap sebagai pengakuan, seperti emblem yang berjejer di selempang kepanduan jaman saya masih Pramuka dulu. I did this, I did that. Pertanyaan selanjutnya adalah: mengapa saya melakukan ini? An sich karena pengakuan yang saya dapatkan? Kalau iya, pengakuan siapa?

Saya suka mengunggah foto hasil masakan saya, dipuji banyak orang, dan seterusnya. Tapi saya lebih suka ketika anak + suami saya suka dan makan masakan tersebut dengan lahap. Semakin jauh saya berpikir & bertanya pada diri saya sendiri, semakin saya menemukan bahwa yang paling penting malah bukan emblem/lencana/embel-embel yang terlihat atau tertera dengan jelas, cetha dan bisa dibaca setiap orang. Tinggal bagaimana saya perlu belajar terus, agar bisa semakin mahir memilah yang penting untuk dirasa dan mana yang pantas diabaikan saja.


Sosial media memang seperti titian tali licin yang harus dilewati dengan hati-hati. Mudah sekali tergelincir dan menjadikannya muspro, sia-sia. Buat apa mengikuti/menggunakan sesuatu yang hanya membuat diri ini insecure, rendah diri, iri dan perasaan negatif lainnya. Sisi positif sosial media juga bejibun kok. Untuk yang satu ini, mari bersikap pragmatis, mengeksploitasi kebaikannya & tak perlu repot dengan yang tidak baik. =)

You Might Also Like

3 comments

  1. Ulasannya jempolan...👍
    Terus nulis ya mba, saya sdah langganan bca sejak setahun yg lalu 😊 #biarindehketahuan.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih Retha sudah berkenan membaca. Hugs!

    ReplyDelete